Dua buku laris Syed Husein Al-Attas bertajuk "Mitos Pribumi Malas" dan "Intelektual Masyarakat Berkembang". Bisa jadi sudah tidak dibaca lagi di Indonesia. Â Sebaliknya, buku itu bakal terus dijadikan dokumen penting bagi diplomat atau intelijen Singapura dan Malaysia.Â
Buku-buku itu menobatkan suku bangsa Melayu di Singapura, Malaysia, serta tentu di Indonesia, sebagai "bangsa pemalas bagai seekor kerbau". Kerbau paling mudah dicucuk hidungnya. Tinggal dikasih jerami kering guna dimamah, kerbau itu dengan tenang mengunyah di kandang atau  sambil kembali bekerja menarik pedati.
Ketika buku itu mencapai puncak kesuksesan di kalangan cendekiawan Orde Baru guna dibaca, pandangan terarah kepada suku bangsa Melayu yang berada di negara jiran Singapura dan Malaysia. Malaysia rentan dengan korupsi bernilai recehan hingga jutaan ringgit.
Ada semangat menepuk dada di dalam sejumlah pembahasan buku itu. Tentu sekaligus "perlawanan" kaum intelektual terhadap perilaku menyimpang pebguasa. Tak terkecuali dalam bentuk tulisan, terutama dalam majalah Prisma. Kalangan Melayu di Indonesia sudah setapak lebih moderen.
Bagaimana sekarang?
Ketika prinsip-prinsip good governance di kedua negara tetangga itu lebih tertanam ketimbang di Indonesia, kaum Melayu di sana yang balik menepuk dada.
Sejumlah insiden yang terjadi di lapangan sepakbola, kalangan buruh migran, penyebutan sebagai bangsa Indon, adalah strata sosial yang dilekatkan oleh sesama ouak Melayu di Malaysia kepada warga migran asal Indonesia.
Nak bercakap ape, bile melihat begitu banyak perusahaan nasional Indonesia yang "dilahap" Temasek Holding atau Khazanah Berhad.
Klasifikasi baru muncul. Bahwa sekalipun sesama Melayu, tetapi jika dijajah oleh bangsa yang berbeda, bisa menghasilkan Melayu yang berbeda pula. Malaysia dan Singapura dijajah Inggris, sehingga Melayu di sana bisa lebih aristokratif. Indonesia dijajah Belanda, sedikit sekali memberi tempat kepada Melayu, terkecuali kategori Pangreh Praja.
Yang terbanyak?