Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Hendak Bangun Apa di Sumbar?

24 Juli 2020   21:03 Diperbarui: 28 Juli 2020   12:33 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersua Ali Mukhni, Bupati Padang Pariaman dua periode. Paman kandung saya lewat kakek. Dulu, sering bersua, bertelepon sepanjang malam. Atau ikut dalam mobil dinasnya.

Kini, kami sepakat, pembangunan berskala nasional absen di bumi Sumatera Barat. Dalam satu dekade terakhir. Tokoh-tokoh Sumbar sudah senang, jika Rumah Adat di Pagaruyung dibangun lagi habis terbakar. Atau Mesjid indah di Padang diperhatikan tokoh-tokoh nasional dan perantau.

Jumlah mesjid meningkat pesat, semakin banyak yang indah, seiring dengan kepulangan sejumlah perantau dari dalam dan luar negeri yang membangunnya. 

Baik secara sendirian, atau berjamaah. Wajah surau dalam pengalaman masa kanak-kanak saya, semakin lindap terkubur cahaya listrik. Obor yang menyala dari buluh atau bambu berlampu minyak tanah, susah dicari.

Listrik telah menghancurkan ekosistem ikan di danau, sungai, bandar, pun kolam alam. Hampir setiap hari, siang malam, selama berpuluh tahun, saya terbiasa menangkap udang dengan tangan. Malam-malam, berlampu siterongkeng, satu atau dua jam, masuk sungai. Berember ikan dapat, beragam jenis.

Bisa jadi unsur diri saya dominan api, hingga kesukaan saya ya berendam di sungai, danau, hingga berenang di laut. Tapi yang menggoda bukan itu, melainkan ekosistem ikan yang indah, hidup, dan menyehatkan. Itulah yang menarik saya dan anak-anak lain berjam-jam mandi di sungai, laut atau talago.

Ke mana ikan-ikan itu kini?

Kenapa makin banyak anak-anak yang tak bisa lagi berenang?

Semakin banyak berita, anak-anak tenggelam, tak lagi bisa mengapung di jenis air apapun. Bahkan banjir besar, deras, menguning, dengan kayu-kayu yang hanyut dari hulu. Kaki, tangan, dan tubuh kanak-kanak kami bisa melalui dengan gembira semua itu.

Kini?

Perahu, jembatan gantung, hingga jembatan permanen dibuat hingga ke bandar-bandar kecil. Jalan keras bersemen mendaki hingga ke hutan-hutan penuh babi, siamang, kera, tak ada rumah manusia. Pori-pori tanah ditutupi jalanan yang serting hanya proyek kecil kontraktor itu.

Apa yang dibawa jalan dan jembatan itu?

Kendaraan bermotor. Produk kuaci dari Malaysia. Kartu remi dan koa atau domino dari China yang komunis. 90% jajanan impor. Dulu, dengan cahaya obor kami membawa Al Qur’an ke surau-surau yang jauh. 

Sepanjang jalan kami berteka-teki, atau bernyanyi salawat dulang. Jiwa kami hidup, seni, budaya, hingga tradisi menyala di hati.

Sedih saya, ketika melihat jambu biji di depan rumah tak disukai anak-anak. Buahnya terbuang. Tafakur saya, buah sawo membusuk di batang dan terjatuh berserakan. Berjenis buah-buahan. Saya tawarkan ke anak-anak? Mereka tak suka. Padahal, di masa kanak-kanak kami, jangankan matang, mengkal dan mentah saja sudah masuk ke perut kami.

Barangkali dengan segenap makanan alam itu, satu angkatan di SD, SMP, hingga SMA di Pariaman, berukuran tinggi sama. Berpuluh jumlah kami, kelahiran 1972. Rata-rata dengan tinggi badan di atas 170, bermain basket, tak bisa sepak bola. 

Bergairah dalam kegiatan pramuka, hiking, pacu lari, hingga paskibraka. Satu atau dua tahun di bawah kami, masih ada generasi seperti itu. Pun setahun atau dua tahun di atas kami.

Saya tak mengukur anak-anak yang lahir dua-tiga tahun setelah itu. Walau, kala jumpa dengan anak-anak SMA sekarang, lebih rendah dari kami. Apakah itu produk dari jajananan yang mereka beli setiap hari, hingga lapau-lapau di ujung korong dan jorong, dari pasar, hingga rimbo kalam.

Sejarah mencatat betapa pembangunan dalam skala yang baik, berupa jalan dan jembatan, terjadi setelah Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI) meletus. 

Uang hasil “gertakan” kepada pemerintah pusat yang dikucurkan, digunakan oleh Kolonel Dahlan Djambek untuk benar-benar membangun jalan selingkar nagari. Tak segobangpun uang itu hilang, karena ditukuk dengan semangat Saiyo Sakato berupa gotong royong masyarakat. Ketika hadir di Sumbar, Jokowi khusus memperhatikan bagaimana petani bergotong royong itu.

ABRI Masuk Desa selama Pelita IV dan V yang berpusat di Sumbar, banyak membantu sukses ekonomi yang diraih era itu. Sumbar adalah negeri yang berlaut, berpantai, berlurah, berlereng, hingga bergunung. Sulit sekali membuat jalanan lurus. Semangat gotong royong yang “dilatih” AMD bertahun-tahun itulah yang menjadi Saiyo Sakato.

Semakin hilang latihan, semakin kendaraan bermotor bebas masuk kampung keluar nagari, semakin banyak anak-anak sekolah tewas atau luka. Tuah tak lagi saiyo. Semakin mudah pelaku kejahatan masuk, membunuh orang, atau malah menyembelih hewan ternak penduduk dengan keahlian algojo era Romawi.

Apakah semua area perlu dibangun?

Warga Dusun Lansano, Kenagarian Sikucur, Kec V Koto Kampung Dalam, tahu betapa keras kepalanya saya. Saya melarang Pak Camat, Pak Bupati, membuat jalan ke rumah tengah sawah peninggalan ayah. Kini? Jembatan yang dibuat di bandar yang kecil, ketika saya jarang pulang.

Saya berhari-hari jadi petani, jika pulang ke rumah itu. Tak mau diganggu, kiamat sekalipun dunia. Ada nilai spiritual yang saya kerjakan, setiap kali saya mengayunkan cangkul ke bumi. Karena saya adalah petani, peternak, pelaut, dan segala macam keahlian anak rimba, danau, sungai dan laut.

Saya membayar hutang-hutang saya di rantau. Hanya dengan berbicara. Atau dengan menulis. Atau dengan seminar, saya mendapatkan honorarium hingga puluhan juta dalam sehari saja. 

Padahal, saya terbiasa menunggu hasil panen, dua, tiga, hingga lima bulan. Atau bertahun bagi tanaman keras. Saya terbiasa memelihara ikan sejak ikan itu masih garundang. 

Dengan cara memegang cangkul itulah, saya memohon ampun kepada Illahi Rabbi, jika cara berbeda dalam mendapatkan uang, tapi diraih dengan hasil yang juga berkebalikan, telah saya lakukan.

Sampai kini, saya tidak bisa naik sepeda, motor, apalagi mobil. Tapi beri saya rakit batang pisang, rakit bambu, atau perahu, saya dengan senang hati bisa membawanya di sungai, danau, dan laut.

Tripple T, begitu dulu ditulis Dorodjatun Kuntjorojakti tentang globalisasi: transportation, telecomunication, dan turism. Tapi saya juga membaca buku-buku anti globalisasi.

Dari Ivan Illich hingga Vandana Shiva. Saya ikuti perkembangan global, berselancar di internet sejak dua puluh tahun lalu, tidur hanya dua-tiga jam. Sebagai anah hutan, saya tak ingin diperbudak oleh itu.

Biarlah Tarzan mampu menggunakan internet.  Tapi Tarzan bukankah Tarzan, jika akar, pohon, dan hewan-hewan, hilang di bumi.

Apa yang hendak dibangun di Sumbar?

Betul, tidak ada pembangunan skala nasional. Namun, tentu terdapat visi yang lebih baik ke depan. Apa itu? Tunggu saja dalam edisi nanti….

Jakarta, 24 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun