Apa yang dibawa jalan dan jembatan itu?
Kendaraan bermotor. Produk kuaci dari Malaysia. Kartu remi dan koa atau domino dari China yang komunis. 90% jajanan impor. Dulu, dengan cahaya obor kami membawa Al Qur’an ke surau-surau yang jauh.
Sepanjang jalan kami berteka-teki, atau bernyanyi salawat dulang. Jiwa kami hidup, seni, budaya, hingga tradisi menyala di hati.
Sedih saya, ketika melihat jambu biji di depan rumah tak disukai anak-anak. Buahnya terbuang. Tafakur saya, buah sawo membusuk di batang dan terjatuh berserakan. Berjenis buah-buahan. Saya tawarkan ke anak-anak? Mereka tak suka. Padahal, di masa kanak-kanak kami, jangankan matang, mengkal dan mentah saja sudah masuk ke perut kami.
Barangkali dengan segenap makanan alam itu, satu angkatan di SD, SMP, hingga SMA di Pariaman, berukuran tinggi sama. Berpuluh jumlah kami, kelahiran 1972. Rata-rata dengan tinggi badan di atas 170, bermain basket, tak bisa sepak bola.
Bergairah dalam kegiatan pramuka, hiking, pacu lari, hingga paskibraka. Satu atau dua tahun di bawah kami, masih ada generasi seperti itu. Pun setahun atau dua tahun di atas kami.
Saya tak mengukur anak-anak yang lahir dua-tiga tahun setelah itu. Walau, kala jumpa dengan anak-anak SMA sekarang, lebih rendah dari kami. Apakah itu produk dari jajananan yang mereka beli setiap hari, hingga lapau-lapau di ujung korong dan jorong, dari pasar, hingga rimbo kalam.
Sejarah mencatat betapa pembangunan dalam skala yang baik, berupa jalan dan jembatan, terjadi setelah Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI) meletus.
Uang hasil “gertakan” kepada pemerintah pusat yang dikucurkan, digunakan oleh Kolonel Dahlan Djambek untuk benar-benar membangun jalan selingkar nagari. Tak segobangpun uang itu hilang, karena ditukuk dengan semangat Saiyo Sakato berupa gotong royong masyarakat. Ketika hadir di Sumbar, Jokowi khusus memperhatikan bagaimana petani bergotong royong itu.
ABRI Masuk Desa selama Pelita IV dan V yang berpusat di Sumbar, banyak membantu sukses ekonomi yang diraih era itu. Sumbar adalah negeri yang berlaut, berpantai, berlurah, berlereng, hingga bergunung. Sulit sekali membuat jalanan lurus. Semangat gotong royong yang “dilatih” AMD bertahun-tahun itulah yang menjadi Saiyo Sakato.
Semakin hilang latihan, semakin kendaraan bermotor bebas masuk kampung keluar nagari, semakin banyak anak-anak sekolah tewas atau luka. Tuah tak lagi saiyo. Semakin mudah pelaku kejahatan masuk, membunuh orang, atau malah menyembelih hewan ternak penduduk dengan keahlian algojo era Romawi.