Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kepada Bayi-bayi Lobster Itu!

16 Juli 2020   09:51 Diperbarui: 16 Juli 2020   09:54 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu kalian, indung telor kalian, bernama Sri Nusantarani.
Ayah kalian, pemberi sperma di dada hingga ekor ibu kalian, bernama Raka Samudera Rayana.
Beratus ribu nyawa terbentuk seketika, dalam medan listrik tak terlihat mata manusia.
Beratus ribu, dari satu ibu, satu ayah, menebal, menggumpal, menggelambir.

Dua cakar ibu kalian melunak, walau lebih panjang dari dua cakar gempal ayah kalian.
Keduanya mengarungi samudera, bergerak di sela-sela karang dan gelombang.
Hampir sebulan kalender manusia, inkubasi terjadi pada kalian.
Ayah dan ibu membawa kalian ke mana pun mereka bepergian.

Berdua mencari serpihan makanan.
Berdua menatap arus air.
Berkejaran mencari tempat paling nyaman.
Buat kalian menempuh masa kanak-kanak.

Kini, ayah -- ibu kalian direnggut!
Kalian ditetaskan dalam alam-alam buatan.
Bergerak ke sana-kemari, tanpa ayah -- ibu.
Pun tak tahu lagi, tanda-tanda bahaya yang mengancam.

Belum sempat ayah -- ibu kalian menurunkan ilmu.
Belum sempat kalian kercengkrama bersama-sama dipandangi mata awas ayah -- ibu.
Kalian dimasukkan ke dalam botol-botol sedikit udara.
Dihitung, dilabeli, dimasukkan ke dalam karantina, bersiap berangkat ke negeri atas angin.

Tugas kalian semula menjadi balatentara samudera Indonesia.
Berjaga di setiap pulau tak bernama.
Menjadi rantai tak putus dari siklus hidup yang bernama lautan.
Karena tak ada yang seukuran kalian, sebergaya kalian, sekekar kalian, dalam deretan rantai itu.
Sungguh tak ada yang semirip, serupa, seperti, kalian.

Caping-caping kalian adalah perusak dari karang-karang lapuk, cangkang-cangkang kosong.
Mata-mata kalian adalah cahaya galaksi di kala gulita.
Sungut-sungut kalian adalah satelit telekomunikasi tercanggih di dasar laut.
Sisik-sisik kalian adalah baju-baju zirrah tak tembus peluru dalam peperangan hidup mati makhluk.

Aku bersaksi untuk itu!
Lama aku bermain dengan kalian!
Di lautan, di muara, pun di sungai-sungai berair deras!
Berjam-jam, hingga ayahku terkadang melecutku dengan ikat pinggang kulit, disuruh belajar!

Kini, kalian dipaksa menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Dijadikan permata hidup dalam keramba-keramba buatan.
Dibesarkan hanya dengan sebutan sebagai makanan.
Dikirimkan ke Jepang, Korea, China, Eropa, hingga Amerika ketika tubuh-tubuh kalian bongsor.

Sungguh, aku masih melihat sebagai kanak-kanak.
Bayi-bayi yang hanya bertubuh besar.
Kala masuk ke dalam wadah-wadah lebih besar lagi.
Di Vietnam, negeri yang menjadikan lobster -- nama kalian -- sebagai industri digdaya!

Sungguh pedih apa yang kalian alami!
Sedih tak terperi!
Hingga aku mengutuk diriku sendiri!
Tak mampu menggelegarkan tapak-tapak raksasa laut yang dulu menjagamu dari alam siluman!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun