Padang Pariaman dalam etalase sejarah, saya tertumbuk, terantuk, tak tahu bertanya kemana. Pun tersesat. Di satu situs, terdapat nama Harun Zain sebagai Bupati 1975. Tentu dengan membuat perbandingan lain, nama Harun Zain tak bersua.
Ketika menelusuri nama-nama BupatiIlmu sejarah dilengkapi dengan metode kritik sumber. Perbandingan sumber. Sumber primer tentu lewat dokumen tertulis. Sumber lain, bisa lewat wawancara. Tetapi ujung dari ilmu sejarah tetaplah rasionalitas. Sebagaimana ilmu-ilmu alam.
Entahlah, tidak terasa, air mata menetes. Seperti takana bana. Tentang pesan almarhum ayahanda saya, Boestami Dt Nan Sati (07 Juli 1935 - 26 Desember 2016). Di pembaringan. Saat sekarat. Usai terkena serangan stroke ketiga kalinya. Â
Ayah tahu, saya pandai menulis. Karena saya suka membaca. Ratusan lembar surat-menyurat antara ayah dengan saya saban bulan, terjadi selama puluhan tahun. Tulisan ayah begitu indah. Saya sangat kumal. Kami sering bertengkar. Jarang setuju-setuju saja atas apapun masalah yang kami tuliskan.
Dan saya mulai pahami, kini, salah satu yang diminta ayah adalah menulis tentang kampung halaman. Tentu Padang Pariaman, walau ayah asal Tanah Datar. Kisah Tanah Datar dan segala kemegahan sejak zaman Pagarruyung sudah banyak tertuang dalam buku.
Rudal Kuning Sepanjang Pantai
Padang Pariaman? Yang bahkan sampai kini masih hadir dalam portal Historia mahakarya Empu Bonnie Triyana sebagai bagian dari olok-olok antara Hasyim Ning dengan Jenderal Ahmad Yani.
 Tentang bakal kesulitannya tentara pusat yang turun di pantai Pariaman. Sebab, "ditembaki" oleh rudal-rudal berwarna kuning di sepanjang pantai Pariaman.Â
Saya sangat mengerti kisah itu. Seperti muka saya sendiri yang dilumuri rudal-rudal kuning itu, sehingga pas tahu saya asal Pariaman: orang-orang akan "melahap" seluruh tubuh saya, seakan saya tak bisa dan tak mengerti tentang kebersihan.
Padahal, ayah mengajarkan tentang kebersihan itu lebih mirip tata cara orang-orang Belanda totok. Di meja makan. Ayah menyuci sendiri baju-baju sekolah kami.Â
Tak boleh ditemukan bekas rokok di saku. Malam-malam, ayah bakal masuk ke kamar kami yang tidur berhimpitan. Membaui mulut kami. Ah, jangankan telinga, kaki atau tangan kami, kucing-kucing kurappun dimandiin ayah. Diobati. Ayah benar-benar mengimani kebersiha.
Tidak setengah-setengah dari imannya. Begitu total. Begitu kaffah. Rumah kami tidak hanya ramai oleh anak-anaknya. Tapi juga segala jenis binatang segala rupa. Juga tetumbuhan di sekeliling halaman.
Seperti Gaek Ompong, panggilan kami atas Ajam, kakek saya yang bekerja sebagai juru tulis jumlah angkutan batubara di Jawatan Kereta Api Hindia Belanda. Sangat terkenal bersih. Tulisannya dua kali lebih indah dibanding ayah. Lengkung huruf tulisan tangan yang seperti memahat setiap sisi, tebal tipis.
Sampai benar-benar dikejar dengan deadline menulis sejumlah kolom di koran-koran, saya tak terbiasa dengan mesin ketik atau komputer. Saya menulis kolom dengan tulisan tangan.Â
Baru saya pindahkan ke komputer. Seperti banyak peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengingat saya, sebagai predator paling rakus dlaam menggunakan kertas.
Ya, guna memastikan tulisan saya benar-benar terasa sebagai tulisan tangan, saya kembali mencorat-coret artikel yang sudah saya print out. Dua-hingga tiga kali.Â
Tentu dengan perasaan penuh dosa. Saya mendapatkan honor dari tulisan-tulisan itu. CSIS? Sebagai institusi tak dapat apa-apa. Saya seperti pencuri dengan nama mentereng sebagai intelektual.
Baru kini saya sadar, ada yang perlu digaungkan. Hampir seluruh tulisan tangan saya di rumah tengah sawah kala pulang kampung, lalu saya ketik ulang di Jakarta, mampu merambah halaman-halaman penting kolom-kolom koran terkenal. Pun tanggapan dari pembaca sungguh terasa. Kebanyakan orang-orang tua, termasuk kritikan dari Daoed Joesoef tentang tulisan saya menyangkut jahatnya kota. Sekretaris pribadi Daud Beureueh bahkan mengirimkan tulisan tangan, beserta dokumen penting, ke alamat saya. Prof Dr Ali Hasyimi, Ketua Majelis Ulama Aceh. Dia menangis membaca tulisan  saya.
Pun, tak jarang saya menulis sambil menangis. Ketika Dhortheys Hiyo Eluay tewas. Ketika Tengku Abdullah Syafiie ditembus peluru. Saya terbiasa hormat kepada lawan yang tangguh.Â
Seberapa berbedapun dengan sikap, pandangan, atau posisi saya berdiri. Ayah yang "mengajarkan" cara itu, walau ia dikenal dengan watak yang keras. Ayah adalah gerilyawan gagah di usia muda. Tapi ia peduli kepada apapun. Jejak tangis ayah terbaca dalam tintanya.
Delapan Belas Bupati  Tanpa Tanggal Lahir, Apalagi LegacyÂ
Ketika malam ini saya mencoba menelusuri nama-nama Bupati Padang Pariaman sejak 1945, saya sungguh merasakan "makna" dibalik ucapan dan "tuntutan" ayah.Â
Sebagai sejarawan, saya merasa kekosongan demi kekosongan terhampar. Sedikit sekali informasi. Lebih sedikit data. Padang Pariaman adalah negeri yang berdebur ombak. Hingga berlurah-bergunung. Sulit bertemu naskah daun lontar.
Sungguh, saya menjadi iri menelusuri tanah-tanah di belahan tempat saya menimba ilmu dan kehidupan. Jawa. Pun daerah lain. Masih kaya dengan naskah dari masa lalu. Pun di Buton sana.
Padang Pariaman? Hanya untuk mencari tahu nama dan riwayat kepemimpinan para bupati di Padang Pariaman, saya harus meludah ke langit. Bersua, tapi tak bertemu. Untuk apa seluruh kuasa, jika tak ada cerita? Padahal, sudah terdapat Undang-Undang Pokok Nomor Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.Â
Walau sudah ada sejak zaman Indonesia merdeka, sosok bupati yang baru benar-benar bisa bekerja adalah JB Adam, 1961-1966. Beliau adalah bupati pertama yang bisa memerintah selama lima tahun, dalam siklus kepemimpinan lima tahunan sesuai dengan UUD 1945.Â
Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 sesungguhnya telah memberi mandat yang lebih lapang kepada Bupati JB Adam untuk menunjukkan makan tangannya.
Sebelum itu? Tak ada yang bisa dilakukan dalam masa jabatan yang singkat. Yang terdengar malah lebih banyak kisah konflik. Perang kemerdekaan. Perang gerilya.Â
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia. Pasukan Harimau Sago. Pendekar-pendekar berbaju hitam. Tentara-tentara pusat. Partai Komunis Indonesia. Segala macam rupa pergolakan di Jakarta langsung mengalirkan "darah konflik" ke jorong, kampuang, dan nagari di Padang Pariaman.
Walau, tentu, terdapat juga nama-nama yang bisa menjaga marwah. Berpendidikan Belanda. Berpegangan kepada Al Qur'an dan Hadist.Â
Kekacauan seakan sirna, ketika nama-nama itu hadir dalam medan nan bapaneh, laga-laga, hingga Bukit Sidang Bukit Bio-Bio di hutan rimba tempat senjata-senjata ditaruh guna kembali ke pangkuan merah-putih. Orang-orang berambut putih. Perpikiran bersih. Alam terkembang jadi guru.
Masa jabatan bupati hanya satu, dua, hingga tiga tahun, selama lima belas tahun.Â
Bersumber dari UUD Sementara 1950-kah? Atau lebih awal lagi, berasal dari UUD Republik Indonesia Serikat? Toh dalam masa-masa yang "hinggap tak merayap" itu, Bukittinggi menjadi simbol utama Sumatera -- Sumatera Tengah -- Sumatera Barat. Padang baru menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Barat pada 29 Mei 1958.
Diluar Bukittinggi? Sejarah daerah yang lindap. Pudur seperti dama togok yang bikin hitam hidung. Tentu diluar karya-karya ilmiah seputar peristiwa tertentu atau keberadaan urang rantai di Sawahlunto, misalnya.Â
Terdapat delapan belas orang yang pernah menjadi bupati di Padang Pariaman. Tunggu dulu? Apa benar? Ada juga sejumlah media online yang menulis lebih banyak.Â
Sungguh serakan informasi yang sangat coreng moreng. Tak ada yang "ditugaskan" untuk bekerja di laptop, di kegelapan malam, lalu mengoreksi halaman-halaman terbuka. Bisa wikipedia edisi bahasa Inggris, bahasa Minang, bahasa Indonesia, Belanda, Portugis, atau Arab.
Bahkan situs resmi milik pemerintahan daerah yang dikelola instansi resmi, terasa tak dikerjakan dengan rapi. Seakan tak ada "kurator" atas segala sesuatunya.Â
Tentu saya paham, terlalu sedikit anggaran. Padahal, dari sana semua magnet ekonomi, wisata, karya, kreasi, keunggulan, atau malah kekurangan, bisa dipelajari. Bagaimana bisa manggaleh sebagai keahlian orang Piaman yang berbilang abad, jika lapaknya sendiri kosong? Bahkan lompong sagupun tak ada. Buta.Â
Bupati Berprestasi Orde Barupun Terasa Scubidu-biduuu!
Selama menjadi pejabat di lingkungan pemerintahan kabupaten, kota, hingga provinsi, ayah paling tidak bekerja dalam masa Bupati Muhammad Noer (1966-1975), Muhammad Zein Chatib (1975-1980), Anas Malik (1980-1990) dan Zainal Bakar (1990-1994). Sungguh, saya ingin tahu, apa yang ia kerjakan, bersama sosok-sosok yang berwatak sekeras baja seperti Anas Malik, dalam generasi mereka diingat.
Anas Malik, siapa yang tidak "gentar" dengan nama itu dalam jangkauan Pariaman Raya, baik ranah hingga rantau? Ia berpangkat Letnan Kolonel yang bertugas sebagai Perwira Penerangan Kodam V/Jakarta Raya. Sosok yang begitu dihargai oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang bergerak menolak Normalisasi Kehidupan Kampus - Badan Koordinasi Kemahasiswaan di Jakarta Raya.Â
Banyak pimpinan mahasiswa asal Minang yang ditahan di Kampus Kuning binaan Mayor Jenderal Eddie Marzuki Nalapraya saat itu, seperti Harry Azhar Azis yang berpandam-pekuburan di  V Koto Kampuang Dalam, Padang Pariaman, sebagaimana juga Azyumardi Azra.Â
Gagah? Tentu. Setiap akhir pekan selalu membawa seekor ikan besar dengan sepeda motor terbaik di zamannya. Berbaju putih. Lalu, uwo, anduang, etek dan perempuan di dusun terpencil kami, bakal ramai-ramai memasak, terutama pas ayah gajian. Ikan tuna yang besar, tak hanya satu. Ayah tahu, orang Jepang hebat karena makan ikan.
Keras? Tentu tak berdenting, sebagaimana Anas Malik yang suka menangkap hewan ternak warga yang berkeliaran, lalu ditebus di Lapangan Merdeka. Jemuran wargapun ditata. Letak rumah mulai tak lagi membelakangi pantai. Toilet pelan-pelan dibuat di dalam rumah yang masih banyak berair payau itu.
Tentu, saya tak ingin menulisi kisah Kabupaten Padang Pariaman bersama manusia-manusia hebat lain dalam kisah subjektif ayah -- anak. Tak hendak saya menulis itu sebagai kisah keluarga. Semua anak selayaknya bisa menulis kisah semua ayah. Dan ibu mereka. Bukan hanya tentang rudal kuning itu.
Biarlah, supaya saya tak ingin mendangkalkan yang dalam atau memperdalam yang dangkal, saya menjadikan ini sebagai bagian dari proses politik dalam pilkada Padang Pariaman yang dihelat tahun ini.
Satitiak jadikan lauik. Sakepal jadikan gunuang. Alam takambang jadikan guru.
Mari. Sebagai apa?
Program penulisan sejarah daerah. Biografi warga. Biar saya tulis sampai sebisanya, berhenti pada titik mana. Cek saja nanti.
Ya, sebagai Wakil Koordinator Wilayah Provinsi Sumatera Barat dalam Bappilu DPP Partai Golkar, saya akan menjadikan proses penelusuran dan penerangan sejarah provinsi, hingga ke tingkat kabupaten dan kota di Sumatera Barat menjadi PROGRAM ANGKEK PENA, ketimbang ANGKEK TALUA.Â
Siapapun yang maju didukung oleh Partai Golkar, akan saya ikat "perjanjian akal budi", antara saya pribadi dengan mereka. Yakni, menulis sejarah, sebagaimana diajarkan dalam teori-teori ilmu sejarah, atau terserah berupa apa saja. Empu Prapanca masih bisa dilawan, koq!
Tak hendak menulis tentang kabupaten? Ya, tulislah tentang kisah ayah atau kakek masing-masing! Saya berjanji, kalau perlu menjual harta peninggalan ayah yang masih sangat utuh berupa tanah, kolam, rumah dan sebagainya itu untuk menerbitkan kisah-kisah itu!Â
Biar anak-anak saling berbagi kisah ayah mereka. Saling intip dari kisah rumah ke rumah. Dipertukarkan. Dicari ibrahnya. Disaring. Disarikan.
Kalau tidak sanggup, saya sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Pertama (1995-1997) akan mengerahkan seluruh alumni IKAHIMSI untuk ikut serta. Mereka sangat terlatih dalam menulis, bukan hanya sejarah yang pendek dalam seratus tahun, bahkan juga sebagian dalam sejumlah abad.
Sebab, sebagai Ugang Piaman, saya tahun betul, bagaimana lamanya waktu yang terpakai, ketika dua ughang Piaman bertemu. Pastilah ranji dan silsilah yang diurai. Riawayat turun temurun. Rasa-rasanya, semuanya serba jelas, ketika seluruh hal dikonfirmasi. Sejarah lisan khas pesisir.
Nah, bagaimana sejarah lisan ini menjadi tertulis? Yang kotor kembali jernih?Â
Setelah ditulis, didiskusikan di lapau-lapau, cafe-cafe, lalu dimunculkan dalam media online. Website pemerintahan daerah perlu dirombak sebesar-besarnya, guna menghadirkan artikel-artikel penting ini dalam bentuk populer.
Bagaimana mau memberikan terang kepada masa depan, ketika seluruh jalanan yang ditempuh sungguh gelap-pekat-berlubang? Bagaimana mau meminum air yang bersih di muara, jika hulu berjelaga?
Saya cukupkan saja. Besok, saya akan mulai kirimkan kepada calon-calon bupati Padang Pariaman yang bisa saya jangkau. Bismillah....
Jakarta, 11 Juli 2020
Daftar Nama Bupati Padang Pariaman Sejak 1945 s/d 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H