Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seabad ITB dan Tiga Teknolog

4 Juli 2020   10:36 Diperbarui: 4 Juli 2020   11:38 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hartarto yang pertama masuk pemerintahan, disusul Ginandjar, lalu Habibie yang paling bontot. Justru Habibie yang duluan dipilih jadi menteri, yakni 1978-1983. Hartarto dan Ginandjar dipercaya pada jabatan menteri pada 1983-1988. Habibie duapuluh tahun, Hartarto dan Ginandjar limabelas tahun, dalam sejumlah posisi di kabinet pembangunan.

Dalam kajian terhadap pilihan metode dan prioritas pembangunan (developmentalism), kalangan analis "membenturkan" antara Habibienomics dengan Widjojonomics.

Habibienomics mengutamakan pengembangan teknologi tinggi, guna meraih nilai tambah lebih dalam mengejar keuntungan ekonomi.

Kue yang dimasak dengan kayu bakar dalam waktu lama, tentulah sulit bersaing dengan kue yang dimasak dalam oven yang tak butuh waktu semalam. Di luar kue dan alat yang dipakai memasak, tentu tukang masak (sumber daya manusia) menjadi perhatian utama. Biaya untuk mencetak tukang masak profesional dan bersertifikat internasional tentu lebih mahal, dibandingkan membeli peralatan masak yang dipakai.

Sembilan tahun lebih tua dibanding Habibie, Widjojo Nitisatro lahir di Malang, 23 September 1927. Setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1955, Widjojo menyelesaikan studi doktoral dalam waktu tiga setengah tahun di University of California, Berkeley, dengan beasiswa Ford Foundation. Widjojo terlambat masuk institusi pendidikan. Ia masuk hutan menapak bukit, ketika terjun ke medan perang gerilya sebagai tentara pelajar.

Amerika Serikat adalah pemenang Perang Dunia II.  Jerman, tempat kuliah Habibie, sedang diawasi dengan ketat oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Jepang, tempat kuliah Ginandjar, mendapat kesempatan untuk kembangkan industri dengan izin pengembangan militer yang sekadar bisa membela diri. Pangkalan militer, baik darat, udara, atau laut, dari negara-negara pemenang perang tentu berdekatan dengan negara yang dikalahkan.

Widjojonomics lebih memilih modernisasi sistem ekonomi yang berorientasi pasar, pendapatan fiskal, dan penggunaan utang luar negeri yang mampu menghasilkan trickle down effect.

Yang penting bukan bagaimana membagi rata masakan, tetapi memperbanyak jumlah masakan yang dihidangkan. Masakan yang dijajakan di kampung sendiri, tentu berharga murah dibanding jualan di supermarket kampung tetangga.  Daripada melego harta warisan dalam mencari modal  masak-memasak, lebih baik gunakan utang tengkulak kampung luar atau organisasi tengkulak antar kampung.

Rancang bangun industri yang berubah, dari mesin-mesin perang menjadi barang-barang konsumsi pribadi dan rumah-tangga, tentu berpengaruh terhadap kurikulum pendidikan di Jerman dan Jepang. Aroma "api dalam sekam" atau "sekam butuh api" terasa sekali di kampus-kampus itu. Mahasiswa Indonesia di Jerman termasuk paling progresif, dibanding negara lain. Sejumlah konferensi mereka adakan dengan mengundang perwakilan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negara-negara lain. Dokumen yang disusun dan diputuskan dalam konferensi itu begitu detil.

Australia muncul sebagai kekecualian. Jarak yang jauh dari negara yang dikalahkan, Jepang, tentu membuat persaingan apapun terasa janggal. Sebagai negara Barat di Timur bagian Selatan, Australia yang luas itu lebih mengandalkan ekspor hasil-hasil peternakan, pertanian dan perkebunan ke Indonesia, ketimbang hasil-hasil industri. Tak heran, jika ilmuwan Indonesia yang menamatkan kuliah di Australia, terasa "kurang ideologis", dibandingkan dengan lulusan Eropa atau Amerika Serikat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Hartarto, ketika kuliah di Sydney, juga bekerja lebih keras dibanding mahasiswa Indonesia yang dapat beasiswa di Eropa atau Amerika Serikat. Sosok yang bersuara bariton itu, lebih memilih pelabuhan sebagai tempat mencari tambahan penghasilan. Pilihan lain, menjadi sopir angkutan. Pelabuhan lebih mampu memandu ketinggian renungan tentang awan, angin, dan laut. Tak ada yang disebut "hening" di pelabuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun