Komunikasi itu mirip jampi-jampi. Semakin sering dikatakan, kian tertanam sebagai kebenaran. Kebohongan yang terus-menerus dibicarakan adalah kebenaran.Â
Jika perubahan metode ini terjadi, maka jabatan yang pertama kali wajib dihapus adalah Juru Bicara Corona. Kini, Juru Bicara Corona itu muncul dimana-mana.Â
Bukan saja di pusat, tapi di daerah-daerah, rumah-rumah sakit, hingga puskesmas. Setiap orang ingin masuk layar berita, lalu bicara riwayat seseorang yang baru saja dinyatakan positif infeksi.
Sejak hari ini, atau bisa saja besok, berhentilah memberikan informasi live tentang perkembangan jumlah korban corona, baik yang terinfeksi atau tewas. Taruh saja data itu dalam situs yang dipercaya, tidak hanya satu.Â
Tidak seluruh orang di Indonesia ingin tahu tentang perkembangan data-data itu. Pun hanya sedikit saja yang bisa memahami apa kegunaan data-data itu.Â
Yang terjadi, orang bicara sendiri-sendiri atas apapun yang disebut corona. Sebab, referensi berita yang dibaca berbeda-beda, kejadiannyapun berbeda.
Kawan penulis yang tinggal beberapa meter dari Mesjid Jamik Kebun Jeruk, bersikeras menyebut bahwa mesjid itu diisolasi karena ditemukan beberapa korban tewas.Â
Ia tak mericek ke sumber berita, tapi hanya berdasarkan "Katanya! Katanya!" Khas manusia Indonesia, lebih mengandalkan lisan, dibandingkan tulisan. Lebih percaya kata, dibanding data. Â
Tanpa perubahan metode, tak bakal mengubah paradigma. Hawa negatif bakal terus menjalar, ketika otak mengkonsumsi berita dan cerita yang bernada negatif. Itulah virus yang sebenarnya, bukan hanya sekarang. Epidemi yang merusak peradaban bangsa ini.
Sampai kapan kita terus-menerus diperbudak dengan cara seperti ini? Salam merdeka 100%!
Jakarta, 1 April 2020