Untaian lagu seakan teman yang setia, setiap kali manusia berada dalam kesendiriannya. Bisa dibayangkan, bagaimana lagu (dalam artian keseluruhan menyangkut music, syair, nada, sampai irama dan penyanyinya) telah mengikat manusia dalam imajinasi tertentu. Barangkali tidak sepenuhnya sama dengan imajinasi yang dilantunkan oleh pencipta lagu. Tetapi, dalam sebuah "konser kecil" di dalam rumah kontrakan atau sedang berkemah di alam bebas, lagu-lagu tertentu telah menjadi identitas kolektif manusia.
Tadi malam, saya bertemu untuk terakhir kali dengan jenazah Franky Sahilatua. Seorang musisi yang idealis. Seseorang yang diingat sebagai pejuang, bukan hanya lewat syair, melainkan juga dengan tindakan. Keterlibatannya hampir total dalam setiap kali ada pameran kepedulian terhadap masalah-masalah rakyat. Tidak heran kalau Franky tiba-tiba muncul dengan sosok yang lebih politis, sekalipun dengan kandungan kemanusian yang lengkap, pada hari-hari terakhir kehidupannya.
Nama Franky Sahilatua akrab di telinga anak-anak remaja era 1980-an. Saya hanyalah salah seorang di antara anak-anak remaja itu, ketika menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA 2 Pariaman, Sumatera Barat. Dalam keterbatasan pergaulan, mengingat saya masuk jurusan A-1 (Fisika), alias anak-anak yang paling cerdas di sekolah (ehem), tentu tidak banyak sosok yang suka bersenandung di kelas kami.
Satu yang saya ingat bernama Surya. Julukannya si Bulan, karena mukanya ada jerawat batu. Wajahnya yang putih memperlihatkan jerawat yang tak sembuh-sembuh itu. Si Bulan inilah yang suka bersenandung, duduk di belakang. Kalau ada kericuhan, si Bulan ini sering jadi tersangka. Barangkali karena asal SMP-nya yang minoritas pas SMA. Dia anak Pasaman.
Saya tak ingat, apakah si Bulan ini suka bernyanyi lagu-lagu Franky. Yang jelas, perlahan saya memiliki koleksi kaset Franky Sahilatua. Ketika di kelas dua terjadi "perubahan identitas diri" dalam diri kami, yakni munculnya sikap individu yang semakin kuat, maka perlahan saya mendapat julukan si Franky. Ya, nick name. Nama itu mengacu kepada Franky Sahilatua. Teman-teman SMA lain juga memiliki nama panggilan diluar nama asli, seperti Bram, Ricci, dllnya. Tentu ada julukan tambahan, sesuai dengan ciri fisik seperti si Bulan. Â M Noval, misalnya, mendapat julukan si Peot, karena salah satu giginya lebih panjang dari gigi yang lain. Ada yang dapat julukan si Elang, karena hidungnya semancung hidung bule. Saya juga dapat julukan si Cengkok, karena tangan kiri saya patah sejak taman kanak-kanak di Mentawai. Jadi, untuk satu anak di SMA saya, ada tiga sebutan atau nama panggilan.
Tapi jangan salah, tidak semua orang di lingkungan sekolah boleh memanggil si Franky atau si Cengkok. Harus yang benar-benar paling akrab. Misalnya, kalau Franky adalah sebutan yang "diijinkan" untuk lingkungan Kelas A-1 saja. Sementara si Cengkok, hanya boleh untuk teman-teman yang paling akrab atau genk di Kelas A-1. Ada anggota genk dari Kelas A-2, jago karate dan kung fu. Genk ini adalah untuk anak-anak yang pulang sekolah atau pergi sekolah saja. Anggota genk tidak selamanya harus satu kost. Nama teman satu kost saya adalah Syahrul, tetapi dia lebih banyak masuk genk anak-anak lain yang "lebih alim".
Dalam dinamika kehidupan seperti itulah kaset-kaset Iwan Fals, Ebiet G Ade, Chrisye, dan Franky Sahilatua muncul. Dan segera kaset-kaset itu membentuk komunitas penyenandung. Tentu ada juga grup-grup band lain, seperti Panbers, Salem (asal Malaysia). Acara olah suara masuk dalam agenda rutin berupa class meeting (pertandingan kesenian dan olahraga). Karena saya aktif juga di Pramuka, maka lagu-lagu balada menemani setiap kali ada kegiatan hiking, berkemah, dan lain-lain.
Syair-syair dalam lagu Franky terasa lebih dekat dengan kehidupan saya sebagai anak kampung. Â Sejak sekolah dasar sampai SMA, pulang pergi ke rumah saya melewati sungai berair deras. Namanya Batang Naras. Baru tahun 2011 ini sebuah jembatan hadir di kampong saya. Bisa dibayangkan, setiap kali sungai banjir, lalu menyeberangi sungai atau mencari ikan, senandung kecil lagu-lagu balada otomatis akan menghiasi mulut. Namun, karena memang bukan penghafal yang baik, jarang lagu-lagu itu hafal seluruh baitnya.
Syair lagu Ebiet G Ade memang juga bertema alam. Tetapi ada yang terasa hilang, konteks dari lagu-lagu itu tidak terlalu terlihat. Terlalu jauh ruang imajinasi yang harus disediakan, untuk bisa memahami syair-syair Ebiet G Ade. Sementara, untuk lagu-lagu Franky Sahilatua, terasa ada konteksnya "Surabaya yang panas", "Kereta", dan semacamnya. Begitu juga dengan lagu-lagu Iwan Fals, saya lebih menangkap maknanya ketika kuliah di UI. Ada "nuansa politik" dalam lagu-lagu Iwan. Sebagai anak kampong, tentu nuansa politis yang dibawa lagu-lagu Iwan Fals terasa jauh.
Singkat kata, Franky Sahilatua telah membawakan imajinasi kolektif yang tidak liar ke alam pikiran masa SMA saya. Makanya, ketika kuliah di UI mulai tahun 1991, saya mencari kaset-kasetnya. Memang, mendengarkan kaset Franky di lingkungan Jakarta dan Depok tentu berbeda dengan mendengarkan di kesunyian malam hari di dusun saya yang jauh dari suara-suara apapun, kecuali suara alam. Baru tahun 2000-an kampong saya mulai mendengar suara-suara knalpot motor di malam hari, itupun terbatas.
Jadi, ketika menempuh perjalanan selama 3 jam pergi dan 2 jam pulang ke rumah, menjenguk jasad Franky Sahilatua, bagi saya itu adalah sebuah ucapan terima kasih. Walau di usia dewasa akhirnya saya mengenal Franky sebagai seorang teman diskusi. Dalam masa pilpres 2009, saya beberapa kali ketemu Franky, begitupun sebelum dan sesudahnya. Kalau ada massa berkumpul di jalanan Jakarta, Franky dipastikan menyelip di antaranya, apalagi kalau disediakan tenda untuk mengisi acara berupa nyanyian. Sebagai orang yang juga berada di jalanan Jakarta, tentu pertemuan dengan Franky bukan hal yang sulit bagi saya. Bahkan Franky pun masih sempat mengontak saya, ketika berobat di Singapura. Ia meledek kekuasaan, tentu.