Ponakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke Yang Benar.Â
Yang Benar? Berdiri sendiri.Â
Adat bersendi sarak' sarak bersendi kitabullah.
Se-Madilog apapun Tan Malaka, ia adalah guru mengaji. Se-internationale apapun nyanyian orang-orang yang berontak di Silungkang, tetap saja mereka adalah saudagar yang bergelar haji, dengan pemahaman  Pan Islamisme yang di atas rata-rata.
Anies saya lihat bergelimang dengan urusan birokrasi. Anies, bagi saya, bukan orang Jakarta, dibandingkan dengan saya yang sudah berdagang gerobak sate Padang di Pancoran, Glodok, sejak 1991. Walau kakeknya adalah tokoh perintis kemerdekaan, Anies jelas lebih mengingat rumah kedua orangtuanya yang guru itu sebagai tempat berkumpul dengan teman-temannya.Â
Anies dikenali kalangan aktivis gerakan mahasiswa 1990an, termasuk anak-anak Jakarta, karena saya undang sebagai pembicara di UI tahun 1994.Â
Saya bertemu dengan Anies tahun 1993 di Universitas Brawijaya, Malang, bersama Bagus Hendraning dan Fadli Zon. Beberapa kali ia datang dalam diskusi lain, termasuk di kantor ISAFIS yang dipimpin Fadli.Â
Ketika Anies sedang menulis disertasi tentang desentralisasi, saya berkomunikasi intensif via email. Sampai Anies menjadi visiting fellow di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), tempat saya bekerja.
Arnes? Betul, ia anak Caltex, tetapi kuliah di Universitas Padjajaran, Bandung. Ia bolak-balik Jakarta-Bandung, jarang ke Padang atau Dumai.Â
Ketika saya masih sibuk "mengurusi" pedagang-pedagang Pasar Tanah Abang yang saban hari demo di Kebon Sirih dalam era Gubernur Sutiyoso, berikut beroposisi terhadap pemagaran Monas dan impor seekor Gorilla seharga Rp 3 Milyar bersama kelompok Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet, Arnes sedang membangun jantung kota Jakarta paling moderen setelah Sarinah dan Blok M, yakni Plaza Indonesia. Sarinah? Sudah dibangun oleh Abdul Latief, orang Minang juga.
Arneskah yang bakal mendampingi Anies?