Seluruh kisah berburu ilmu pengetahuan, sains, hingga teknologi selama menjadi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bisa saja terkubur ditelan ingatan yang kabur. Namun, akan ada yang abadi dalam ingatan. Salah satunya: bernyanyi di dalam Balairung UI yang luas di kampus Depok.
Ribuan mahasiswa baru bernyanyi, bersama dengan senior mereka, adalah pengalaman paling berkesan.Â
UI berubah menjadi seekor ular naga yang menelan seluruh mahasiswa yang datang. Tak ada lagi fakultas, hilang sudah jurusan, lupa asal muasal.
Lagu yang dinyanyikan beragam. Yang paling diingat tentu lagu Genderang UI. Berikut liriknya.
Universitas Indonesia / Universitas kami / Ibu kota Negara / Pusat ilmu budaya bangsa.
Kami mahasiswa / Pengabdi cita / Ngejar ilmu pekerti luhur / Tuk nusa dan bangsa.
S'mangat lincah gembira / Sadar kan tugas mulia / Bersatu dalam karya / Mahasiswa.
Universitas Indonesia / Perlambang cita / Berdasarkan Pancasila / Dasar Negara .
Kobarkan semangat kita / Demi Ampera.
Saya jadi teringat lagi mars itu. Lagu yang dinyanyikan dengan bersemangat. Lagu yang memadankan nama kampus dengan nama negara: Indonesia. Tak ada lagi capaian yang lebih tinggi, selain menyandang nama negara, sekaligus keseluruhan algoritmanya: Pancasila, Dasar Negara, Cita, Pekerti Luhur, Ampera.Â
Apa itu Ampera? Amanat penderitaan rakyat.
Sebetulnya, terdapat kesadaran betapa Depok bukanlah ibu kota negara. Tapi bukankah terdapat Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, serta Fakultas Ilmu Keperawatan di Salemba? Kepala masih di Salemba, ekor sudah berada di Depok.
Sebagai satu-satunya kampus yang menyandang nama Indonesia tanpa embel-embel yang lain, kami tentu lebih bernafas lega. Dengan sendirinya, kami sudah bukan lagi mahasiswa-mahasiswa primordial, rasial, spiritual, ataupun bernuansa lokal, ketika menyandang jaket almamater.
Tidak adil, memang, kalau dalam setiap pertemuan mahasiswa di luar kampus UI, selalu delegasi asal UI yang ditanya kehadirannya. Standar, strata atau segala hal yang sama sekali tak berhubungan dengan ilmu yang dipelajari, langsung hadir dengan sendirinya.
Salah satu cara saya dalam "mengambil hati" kawan-kawan aktivis di kampus lain adalah melepaskan jaket almamater dalam acara-acara pembukaan.
Strategi itu juga yang saya pakai, ketika menjadi Ketua Delegasi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Sejarah dalam Seminar dan Musyawarah Nasional (Munas) Forum Komunikasi Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (FORKOMASA) di Universitas Riau pada tahun 1995.
Soalnya, kepengurusan FORKOMASA yang harus menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban dari UI, sama sekali tidak hadir. Mereka adalah sahabat dan senior saya yang datang di Universitas Hasanuddin pada tahun 1993.
Saya tahu betapa delegasi UI bakal dikuliti. Saya bawa mahasiswi baru asal Dumai, anak Caltex. Namanya Dyah, Angkatan 1994, adik angkat saya. Pintar luar biasa. Bacaannya luas dan dalam. Bahasa Inggris mengalir lancar. Berlidah tajam. Terlalu cepat tua gagasan untuk ukuran usianya. Pikirannya kritis dan - terkadang - kejam.
Diluar itu, saya juga ajak Dadang Budiana (Angkatan 1993) dan Yunadi Ramlan (Angkatan 1992). Dadang adalah seorang organisatoris yang berbicara tertata, berlatar aristokrasi Sumedang. Yunadi? Sebaliknya, penganut nilai-nilai  kultural Islam yang banyak becanda mencairkan situasi.
"Tidak penting Munasnya. Yang penting, seminarnya kita kuasai. Duduk menyebar. Buka jaket UI. Tak perlu sebut asal kampus, ketika berdebat. Biar peserta penasaran," begitu instruksi saya.
Benar saja, kami menguasai panggung kiri, tengah dan kanan. Dyah menjadi bintang.
Makalah saya terkait filsafat feminisme. Saya lebih banyak membongkar teori-teori filsafat terkait dengan posisi Bundo Kanduang dalam masyarakat Minangkabau. Makalah itu adalah bagian dari tugas akhir dalam kuliah yang diampu oleh sejumlah dosen kondang hingga hari ini: Tommy F Awuy, Gadis Arivia, Toety Herati dan Karlina Leksono.
Baru UI yang membuka studi feminisme secara khusus. Dosen-dosen yang mengajar juga segar-bugar, dari generasi pertama yang kelak menjadi legenda. Mbak Gadis yang masih berusia 30 tahun selalu menjadi sihir bagi mata lelaki yang sudah tak kekurangan mahasiswi cantik di Fakultas Sastra UI.
"Saya adalah seorang feminis. Feminis berbeda dengan feminin," begitu deklarasi yang saya nyatakan.Â
Tentu, ucapan yang masih terdengar asing masa itu. Dan mengundang bisik-bisik. Tentu, saya banyak belajar dari kekalahan dalam pemilihan Ketua Umum Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya dan Pemilu Raya Ketua Senat Mahasiswa UI.
Begitulah. Penguasaan dalam arena seminar membuat kami percaya diri. Pada hari berikutnya, saya sudah izinkan delegasi kecil ini untuk menggunakan jaket almamater. Dadang maju dalam perdebatan menyangkut organisasi. Yunadi mencairkan suasana dengan mendekati anggota-anggota delegasi yang bakalan menjadi sandungan.
Dan terjadilah pemilihan itu. Tiga orang Calon Sekretaris Jenderal yang berasal dari UI, Universitas Gajah Mada dan Universitas Udayana. Walau ketidak-hadiran koordinator FORKOMASA asal UI dipertanyakan, kami merasa tidak memiliki dosa turunan.
Kami juga tidak diberikan petunjuk tentang itu. Tentu, saya berkomunikasi dengan delegasi yang berangkat ke Unhas dua tahun lalu itu. Tapi, mana mau saya membongkar rahasia dapur?
Saya pun terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Pertama Periode 1995-1997.
Nama IKAHIMSI adalah perubahan dari FORKOMASA. Perubahan itu dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan Peraturan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI. IKAHIMSI lebih terlambat hadir, ketimbang ISMAHI (Hukum), ISMEI (Ekonomi) dan lain-lain.
Semakin banyak delegasi mahasiswa yang hadir, tentu semakin penting melihat kampus-kampus yang diwakili. Dalam pertemuan seperti tu, sudah pasti jaket kuning UI langsung dikenali.
Jaket UI adalah satu-satunya juga yang boleh dipenuhi dengan emblem-emblem lain. Saking banyaknya emblem dalam jaket saya, beberapa kali saya ganti dengan koleksi emblem lainnya.
Apa itu emblem?Â
Lambang organisasi kemahasiswaan yang kita ikuti, ataupun kepanitiaan yang sudah dijalankan. Kepanitiaan berskala nasional biasanya menambah "wibawa" di kalangan "kolektor emblem" ini.
Bagaimana nanti nasib jaket-jaket almamater itu, ketika Genderang UI tidak lagi menyebut "Ibu kota Negara"?Â
Akankah nama UI masih mengandung kedigdayaan forensik?Â
Jangan-jangan, UI tinggal menjadi kampus bully-bully-an, karena menyandang nama yang sudah tak layak lagi. Bukankah nama UI disandang dalam posisi letak strategis di dalam area ibu kota negara?
Dari perencanaan ibu kota negara yang sudah disampaikan Presiden RI Joko Widodo, belum terdapat rencana perpindahan kampus Universitas Mulawarman yang terletak di Kota Samarinda ke arah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pun, ketika pindah, apakah berubah nama sebagai Universitas Ibu kota Negara?
Nama UI tetap tersemat dalam nama kami, para alumni UI yang berjumlah seratus ribuan orang. Sebelas-ribuan sudah menggunakan hak suara dalam Pemilihan Ketua Umum Ikatan Alumni UI.
Andre Rahardian, lulusan Fakultas Hukum UI yang ahli tentang hukum udara (antariksa), terpilih sebagai Ketua Umum ILUNI UI periode 2019 - 2022. ILUNI UI yang tentu pernah kuliah di ibu kota Negara, Pusat Ilmu Budaya Bangsa.
Dan itu tidak lagi menjadi pengalaman bagi generasi mahasiswa UI yang akan datang. Mereka bakal banyak menonton televisi ketimbang hadir di dekat Istana Negara dalam peristiwa-peristiwa penting. Istana yang tak mungkin lagi bisa didatangi kapan saja untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi atau sekadar berswafoto dengan Presiden RI.
Saya teringat dengan kawan-kawan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) asal Universitas Tadulako yang datang naik tongkang batubara dalam Pertemuan Nasional Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) di Universitas Mulawarman pada tahun 1996. Padahal, saya naik pesawat terbang untuk pertama kali, sebagai Ketua Delegasi Senat Mahasiswa UI.
Pada malam hari setelah penutupan, demi mempertahankan hasil sidang yang kontroversial, kami melarikan diri ke Balikpapan dengan membawa dokumen-dokumen. Isinya, penolakan penyalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1997 hingga pembubaran SMPT itu sendiri.Â
Kabar yang kami dengar, Ketua Senat Mahasiswa Unmul, diperiksa tentara. Di kemudian hari, ia menjadi seorang pengusaha.
Berapa banyak tongkang yang perlu dipersiapkan di Teluk Jakarta, ketika mahasiswa ingin menyerbu Istana Negara dalam aksi demonstrasi di masa depan? Atau lebih esensial lagi, masihkah ada demonstrasi?Â
Dari sudut pandang Benuo Taka Kartanegara, sebut saja nama ibu kota negara baru itu, apakah demonstrasi mahasiswa Jakarta adalah rural? Â Ibu kota negara yang tak lagi bergenderang. Ketika mahasiswa jauh dari ibu kota negara, ke mana masa depan hendak menuju?
Saya tidak tahu. Saya jelas ingin memberi beban lebih kepada Andre Rahardian, ketimbang Joko Widodo atau Anies Baswedan. Mimpi-mimpi baru apa yang mau dikejar dalam narasi yang mau dihadirkan dalam acara-acara kemahasiswaan oleh Andre dan pengurus ILUNI UI nanti?
Satu-satunya cara adalah mempercepat pengumuman kabinet ILUNI UI 2019-2022, tentu sebelum Kabinet Indonesia Kerja Jilid II diupacarai oleh Presiden Joko Widodo.
Berlomba dengan waktu, hanya dengan mendahului peristiwa kenegaraan menjadi langkah elegan guna merengkuh masa depan ala mahasiswa...
Jakarta, 27 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H