Suaramu adalah protes.
Nadamu adalah protes.
Nuranimu adalah protes.
Kau lahir dari protes atas tirani.
Kau sibak seluruh hegemoni.
Kini, mau kemana kau, Mas Willy?
Ketika suara-suara mulai seragam lagi.
Ketika bibit-bibit perlawanan tidak lagi puisi.
Ketika lebih banyak orang yang terbiasa dengan sikap saling menerima, saling menyapa, tetapi tanpa tawa, tanpa ketulusan.
Teater-teater kini kosong.
Kaupun menjadikannya bengkel.
Jalanan tidak lagi dipenuhi aroma berdentum suara-suara jiwa.
Yang ada kemacetan, gedung menjulang tinggi, utang menjerat bayi-bayi.
Yang ada adalah kejumawaan, berbagai tanda pangkat di dada penguasa, juga beragam pertunjukkan iklan-iklan mengejar keuntungan.
Puisimu ternyata kalah, Mas Willy.
Tapi tetap ia akan hidup, abadi, sebagai legenda, ketika bangsa ini bisa berpikir, kelak.
Selamat jalan, Mas Willy.
Salam untuk Mbah Surip, sahabatmu.
(Puisi ini ditulis di Jakarta, sehari setelah meninggalnya Mas Willy alias WS Rendra, sepuluh tahun silam alias 07-08-2009.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H