Untuk Alm WS Rendra
Kenapa kau kubur jasadmu, di tengah angin yang mengancam kebebasan datang?
Ketika puisi tidak lagi ditakuti, seperti peluru, kau kembali ke perut bumi.
Bersama Mbah Surip, juga nama-nama pemberani lainnya.
Dulu kau bentangkan begitu banyak huruf, kata dan kalimat.
Isinya: perlawanan tanpa henti, kemanusiaan yang berperi.
Kau hadirkan puisi sebagai senjata, ketika mulut dibungkam, ketika tangan dibelenggu.
Ada yang menyebut puisimu bukan puisi, tetapi pamflet dan propaganda.
Biarlah.
Kami yang muda tidak mengerti perdebatan itu.
Yang kami tahu, kami paham atas kata-katamu.
Kami juga yakini itu.
Tanpa sadar, kau ubah kami menjadi sedikit punya nyali.
Bermodal puisimu.
Bepergian ke jalan-jalan kota.
Bersentuhan dengan kaum tak berpunya, tak berkaum, tak berkata-kata.
Menghiasi kantin-kantin kampus, kost-kostan kusam.
Juga beragam acara ala mahasiswa dan kaum muda.
Kertas-kertas berisi puisimu telah melumuri darah muda kami.
Membebat kepala kami.
Menantang segala jerat atas kata.
Melawan segala berhala atas kuasa.
Menenteng kebebasan, mendamba senyum dan uluran tangan pada manusia yang dicampakkan.
Pembangunan, kau menolaknya, dulu.
Bukan pembangunannya, tetapi cara menjalankannya.
Kau lawan penghambaan atas hasil, pengabaian atas proses.