Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Veto Kursi Menteri untuk Adian

31 Juli 2019   15:57 Diperbarui: 5 Agustus 2019   10:04 14615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adian Yunus Yusak Napitupulu adalah legenda hidup. 

Ia menjadi ikon gerakan mahasiswa 1998 dari sayap yang paling radikal. Ia memimpin organ aksi yang dikenal spartan. Tak kenal takut di lapangan aksi. Apalagi kalau bukan Forum Kota alias Forkot. 

Tak ada embel-embel kampus, atau kata "mahasiswa" di dalam nama itu. Nama yang pasti berkebalikan dengan idiom "Desa Mengepung Kota" yang bagai perangkap tikus bagi mahasiswa berhaluan kiri.

Nama Forkot pun berbeda dengan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI) tempat saya bernaung sebagai alumni. Tak serupa juga dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) yang ikut saya bidani kelahirannya bersama Ubeidillah Badrun, Hengki, Danar dan kawan-kawan lain, seusai kegiatan "Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: Menjawab Tantangan Abad 21" di UI yang saya ketuai.

Walau punya nama mengkilap dan membuat gentar, Adian jarang menampakkan wajah. Berbeda dengan banyak pimpinan organisasi kemahasiswaan lain yang bergerak pada tahun 1998 yang mudah digunting kliping wajah mereka. 

Saya masih ingat panggung aksi di samping Gedung Nusantara III DPR/MPR RI yang diatur "jatah bicara"-nya oleh MC, saking banyaknya nama organ. Bisa jadi lebih banyak organ aksinya, ketimbang jumlah massa aksi yang berkerumun di sekitarnya. 

Di panggung itu Amien Rais orasi, didampingi sejumlah kawan saya, antara lain Mustafa Kamal dan Fahri Hamzah. Massa aksi KBUI berjaket kuning yang datang dalam jumlah paling banyak dengan menggunakan bis kuning UI, lebih memilih berada pada tangga Gedung Bundar.

Adian memegang tongkat komando. Tapi ia bukan sasaran jepretan kamera jurnalis dalam dan luar negeri yang menyemut. Seperti warna musik Kota yang terkenal tanpa syair, Forkot bergerak melahirkan dentuman demi dentuman. 

Bahkan, gemanya semakin kuat justru setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998. Tragedi Semanggi I dan Semanggi II adalah karakter pemberang paling tepat untuk gerakan mahasiswa garis keras ini. Forkot lebih lama di lapangan, lebih berdarah, dibandingkan dengan organ aksi sayap kanan yang berganti bandana dengan "Reformasi Konstitusional".

Saya hanya sempat memantau gelombang aksi Semanggi bersama sejumlah aktivis KBUI. Kami lebih memilih Rumah Sakit Jakarta yang dipenuhi korban-korban luka di seluruh area.

Ada kawan mahasiswa UI yang cerdas dalam bidang ekonomi terbakar tangannya, akibat bom molotov yang hendak ia lempar.  Tangan yang terpaksa diamputansi. Kecerdasan dan ke-UI-annya tak bisa lagi membantu. Ia menyambung hidup dengan menjadi buruh di Tangerang, naik turun angkutan kota. Ia melihat saya duduk di depan mobil pribadi Jalan Wahid Hasyim. Senyumnya masih sama, pun kepercayaan dirinya. Tangan yang tak lagi berjari-jemari itu bersentuhan dengan genggaman saya.

Forkot seakan menjadi ombak liar yang sedang meruntuhkan batu karang, sembari meneruka zaman baru. Warna politiknya langsung terlihat menyala, sebagai elemen yang paling tangguh dalam "memerangi" setiap potensi benalu Orde Baru. 

Dalam pertarungan warna di lapangan, Forkot kentara sekali disebut merah. Walau bendera-bendera yang dikibarkan dicat apa-adanya dengan beragam warna. Forkot seakan bayi-bayi dari rahim gerakan yang bonsai sebelum waktunya, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD). Energi yang dihadirkan begitu kuat, solid dan komunal.

Foto Pribadi
Foto Pribadi
Seperti kawan UI yang menyingkir ke Tangerang tadi, saya juga memilih langkah serupa. Otak saya sesak dengan bahan-bahan bacaan terkait transisi menuju konsolidasi demokrasi. 

Baik secara teori, ataupun praktek, melangkahkan kaki menjadi bagian dari rezim ekor komet yang sedang terbakar tak bakal bisa memberi pengaruh apa-apa. Sukarni Cs sudah mengalami pasca 1945. Tokoh-tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pun bernasib sama pasca 1966.

Karena itu, saya menaruh hormat kepada Adian. Saya mengenalnya lebih dekat, ketika diundang dalam pelatihan mahasiswa-mahasiswa radikal. Saya datang bersama Fadjroel Rachman. Saking berbedanya kurikulum pelatihan yang diberikan kepada mahasiswa itu, aparat kepolisian sampai memeriksa saya dan Fadjroel. Aparat seolah percaya masih ada hantu-hantu era 1960an yang bergentayangan setelah fajar abad 21 menyingsing. Saya ingat, Adian terkekeh-kekeh. Saya menggerutu.

Ya, sejak menjadi mahasiswa hingga sarjana, lalu bekerja sebagai aktivis, analis dan peneliti: baru pertama kali itu saya diperiksa polisi.

Adian tampak bahagia, mendapatkan saya berhadapan dengan realitas dalam apa yang selama ini muncul dalam puisi yang sering saya tulis dalam catatan harian. Stabilitas dan perlindungan keamanan masyarakat, ternyata terganggu dengan materi bahasan yang saya berikan.

Saya ingat, bahkan waktu itu sesumbar dengan mengatakan sebagai juru kampanye pendirian Partai (Pemuda) Sosialis dengan inisiator Fadjroel. Belakangan, rencana itu tak berlanjut. 

Fadjroel sibuk dengan kampanye kandidat independen. Cilakanya, Fadjroel justru makin "mundur" ketika sibuk mengadakan sejumlah seminar di bawah bendera Sugeng Sarjadi Syndicated bersama almarhum Sugeng Sarjadi (Angkatan 66) dan Sukardi Rinakit.

Sebagai man of action, Fadjroel bermetamorfosis menjadi man of idea. Ia menulis pengantar buku tentang demokrasi. Dan Fadjroel di mata saya sudah "selesai" menjadi aktivis lapangan, ketika meluncurkan buku puisi yang ia tulis selama di penjara, termasuk Nusa Kambangan. Namun, lumayanlah. Puisi Fadjroel lebih berwarna, pun romantis, jika disandingkan dengan buku puisi Fadli Zon yang dikumpulkan dari pesan-pesan politik selama dua tahun belakangan.  Fadli belum kasih saya buku itu, sehingga saya belum tahu adakah rona cinta atau nelangsa dalam pilihan-pilihan aksaranya. Sesekali, saya membaca puisi Fadli yang ditulis pada akun twitternya.

Bukan hanya sekali jaringan Adian mengundang saya. Saya pernah ke Lampung dalam pelatihan mahasiswa yang dengan kurikulum lebih radikal. Mahasiswa-mahasiswa itu adalah anak-anak dari kaum buruh tani, kaum miskin kota, hingga kalangan jelata di kampus mereka masing-masing. Saya beruntung, tidak ada polisi yang datang kali ini. 

Biasanya, jika pihak yang mengundang adalah organisasi kemahasiswaan, saya bakal datang, dimanapun hutannya, sekelam apapun rimbanya, segelintir jari sekalipun pesertanya. Saya memang menulis skripsi tentang gerakan mahasiswa.  Saya sama sekali tak melihat nama organisasi yang mengundang, apalagi warna ideologinya.

Ketika organ Pena 98 didirikan, saya ikut diundang. Mungkin Adian dan kawan-kawan berpikir, dengan cara seperti itu, kritikan tajam saya tak tertuju kesana. Setiap undangan yang berkode "98" saya anggap sebagai cemooh belaka. 

Walau didapuk sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Reformasi yang sempat terbit dua kali dari kalangan aktivis KBUI, pun menjadi Dewan Redaksi Tabloid Moment yang mengupas lebih dalam dibandingkan dengan Harian Bergerak yang diampu Majalah Suara Mahasiswa UI, saya tak lagi berkartu mahasiswa.

Bung Muradi yang kini di Kantor Staf Presiden tentu ingat betul, bagaimana ia dengan gagah berani dan penuh nada ejekan mempersoalkan status saya yang sudah jadi sarjana dalam Munas Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) I tahun 1997 di Universitas Padjajaran. Sebagai Sekretaris Jenderal IKAHIMSI Periode I 1995-1997, Muradi menganggap saya "khianat" atas status sebagai mahasiswa.

"Apakah maksud anda, saya menyelesaikan kuliah setelah menyampaikan Laporan Pertanggung-Jawaban ini?" kata saya mempertegas kalimat menohok Muradi, namun berbelit itu.

Untunglah, perdebatan tak berlanjut. LPJ saya diterima. Saya menyerahkan sejumlah dokumen otentik. Sungguh ironis, sampai tahun 2002, Bonnie Triyana yang asal Universitas Diponegoro  menyebut nama saya masih tercatat sebagai Sekretaris Jenderal IKAHIMSI di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Muradi tentu malu hati, karena kepengurusan setelah saya yang dipilih di UNPAD ternyata lebih berantakan. Walau saling bertukar kalimat-kalimat pedas, saya tentu menyimpan kebanggaan atas keterlibatan Muradi dalam peristiwa 98. Ia juga dengan cepat menyelesaikan studi doktoralnya.

Saya tidak terlalu paham warna dialog Adian Napitupulu beserta koleganya. Kami benar-benar berada dalam satu tim "demo dan aksi" yang sudah berbeda nuansa pada tahun 2014. 

Bersama sejumlah kalangan muda, saya memilih mendukung pasangan Jokowi -- Jusuf Kalla setelah berdebat dan meminta izin Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie selama dua jam lebih di lantai 46 Wisma Bakrie.

 Saya bertemu dengan Adian dalam debat-debat di layar televisi. Adian begitu cepat "menghilang" kembali ke dapilnya. Adian setahu saya juga secara khusus menggerakan logistik ke Provinsi Bangka Belitung.

Beberapa kali saya ketemu Adian dalam kesempatan yang tak disengaja. Misalnya di Bandara. Dalam pemilu serentak 2019 ini, saya kembali satu kubu dengan Adian. Terakhir bertemu di Hotel Salak, Bogor, saat rapat tertutup 30-an pimpinan relawan dengan Jokowi. Tak ada yang berubah dari Adian, kecuali kesabaran dan pengendalian dirinya yang makin baik.

Hanya saja, kecepatan Adian dalam mengambil keputusan juga masih sama. Saya yang puluhan tahun bekerja di lembaga penelitian, dunia kata-kata, tentu memikirkan sampai detil setiap besaran angka, metode, program dan hasil pergerakan yang ditulis di papan pengumuman. 

Tangan saya gemetar menulis jumlah 5.000 anggota Sang Gerilyawan Jokowi dalam mengisi acara kampanye yang dihadiri Jokowi. Adian? Bagai penjahit baju di Pasar Rumput Manggarai, langsung menyebut organ-organ relawan yang bakal hadir. Di bawah tempurung kepalanya, seperti berbaris gelombang demi gelombang massa aksi yang tinggal diatur arah keluar-masuk mereka.

Belakangan, saya membaca sejumlah ulasan terkait nama Adian. Begitu juga analisis, berita dan kasak-kusuk. Yang paling menggelisahkan saya adalah Adian hendak dinobatkan sebagai salah satu menteri dalam Kabinet Nawacita II. 

Saya hendak menepuk bagian dari kepala sendiri, tapi sungguh tak gatal. Nalar skeptis saya bersiaga: jangan-jangan laki-laki kelahiran Manado tanggal 9 Januari 1971 ini -- setahun tiga bulan sepuluh hari lebih tua dari saya -- sedang diledekin teman-temannya. Atau, Adian benar-benar dijadikan tolok ukur, parameter, hingga timbangan darah dan tetesan keringat  yang menembus babak-babak "perjuangan" selama bulan-bulan kampanye.

Bagai dunia kanak-kanak saya yang sedang berusaha menghitung bintang di langit, semua telunjuk sudah pasti terarah kepada pijar bintang kejora. Bintang paling terang. Bintang itulah yang dijadikan patokan pertama atau terakhir, dalam menghitung jumlah bintang yang terlihat oleh kami. Yang berhasil menemukan jumlah bintang lebih banyak, bakal menjadi pemenang. Setiap kali sang pemenang menyebut jumlah bintang yang ia temukan, kanak-kanak yang lain bergegas melakukan verifikasi dengan mulai atau berakhir pada bintang kejora.

Adian adalah simbol paling berpijar dari tipologi aktivis organis. Dan pijar itu tak menyala dalam waktu satu tahun atau satu periode pemerintahan. Dua dasawarsa pun sudah ia lewati. 

Sakit kepala saya menderetkan sejumlah nama calon menteri di papan tulis, lalu menyusun matrikulasi berdasarkan sosok hippies setengah kusut bernama Adian. Ketika di dalam kepala saya masih penuh dengan beragam narasi tentang Adian, segera saja otak saya menjadi kosong mencari kisah apa yang berada di belakang sejumlah nama lain yang santer disebut-sebut.

Agar saya tetap bisa menulis cerita, pun berdasarkan pengalaman mendampingi kegiatan sejumlah menteri sejak mahasiswa, baiklah saya meniru Adian sekali ini. Saya harus langsung melompat kearah kesimpulan saja. 

Jika hak prerogatif bisa disamakan dengan hak veto, saya ajukan satu permintaan saja kepada Presiden Jokowi: JANGAN LANTIK ADIAN MENJADI MENTERI! Kalau Presiden Jokowi tak mengindahkan permintaan saya ini, yakni nekad melantik Adian, saya bakal berganti posisi. Tak apa-apalah, sebanyak 5.555 orang massa aksi dengan cepat saya kerahkan mengepung kantor Adian.

Itu saja...

Jakarta, 31 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun