Ada kawan mahasiswa UI yang cerdas dalam bidang ekonomi terbakar tangannya, akibat bom molotov yang hendak ia lempar. Â Tangan yang terpaksa diamputansi. Kecerdasan dan ke-UI-annya tak bisa lagi membantu. Ia menyambung hidup dengan menjadi buruh di Tangerang, naik turun angkutan kota. Ia melihat saya duduk di depan mobil pribadi Jalan Wahid Hasyim. Senyumnya masih sama, pun kepercayaan dirinya. Tangan yang tak lagi berjari-jemari itu bersentuhan dengan genggaman saya.
Forkot seakan menjadi ombak liar yang sedang meruntuhkan batu karang, sembari meneruka zaman baru. Warna politiknya langsung terlihat menyala, sebagai elemen yang paling tangguh dalam "memerangi" setiap potensi benalu Orde Baru.Â
Dalam pertarungan warna di lapangan, Forkot kentara sekali disebut merah. Walau bendera-bendera yang dikibarkan dicat apa-adanya dengan beragam warna. Forkot seakan bayi-bayi dari rahim gerakan yang bonsai sebelum waktunya, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD). Energi yang dihadirkan begitu kuat, solid dan komunal.
Baik secara teori, ataupun praktek, melangkahkan kaki menjadi bagian dari rezim ekor komet yang sedang terbakar tak bakal bisa memberi pengaruh apa-apa. Sukarni Cs sudah mengalami pasca 1945. Tokoh-tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pun bernasib sama pasca 1966.
Karena itu, saya menaruh hormat kepada Adian. Saya mengenalnya lebih dekat, ketika diundang dalam pelatihan mahasiswa-mahasiswa radikal. Saya datang bersama Fadjroel Rachman. Saking berbedanya kurikulum pelatihan yang diberikan kepada mahasiswa itu, aparat kepolisian sampai memeriksa saya dan Fadjroel. Aparat seolah percaya masih ada hantu-hantu era 1960an yang bergentayangan setelah fajar abad 21 menyingsing. Saya ingat, Adian terkekeh-kekeh. Saya menggerutu.
Ya, sejak menjadi mahasiswa hingga sarjana, lalu bekerja sebagai aktivis, analis dan peneliti: baru pertama kali itu saya diperiksa polisi.
Adian tampak bahagia, mendapatkan saya berhadapan dengan realitas dalam apa yang selama ini muncul dalam puisi yang sering saya tulis dalam catatan harian. Stabilitas dan perlindungan keamanan masyarakat, ternyata terganggu dengan materi bahasan yang saya berikan.
Saya ingat, bahkan waktu itu sesumbar dengan mengatakan sebagai juru kampanye pendirian Partai (Pemuda) Sosialis dengan inisiator Fadjroel. Belakangan, rencana itu tak berlanjut.Â
Fadjroel sibuk dengan kampanye kandidat independen. Cilakanya, Fadjroel justru makin "mundur" ketika sibuk mengadakan sejumlah seminar di bawah bendera Sugeng Sarjadi Syndicated bersama almarhum Sugeng Sarjadi (Angkatan 66) dan Sukardi Rinakit.
Sebagai man of action, Fadjroel bermetamorfosis menjadi man of idea. Ia menulis pengantar buku tentang demokrasi. Dan Fadjroel di mata saya sudah "selesai" menjadi aktivis lapangan, ketika meluncurkan buku puisi yang ia tulis selama di penjara, termasuk Nusa Kambangan. Namun, lumayanlah. Puisi Fadjroel lebih berwarna, pun romantis, jika disandingkan dengan buku puisi Fadli Zon yang dikumpulkan dari pesan-pesan politik selama dua tahun belakangan. Â Fadli belum kasih saya buku itu, sehingga saya belum tahu adakah rona cinta atau nelangsa dalam pilihan-pilihan aksaranya. Sesekali, saya membaca puisi Fadli yang ditulis pada akun twitternya.