Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Batas Nasib Kementerian Kaya Vs Papa

19 Juni 2019   07:38 Diperbarui: 21 Juni 2019   01:00 1523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan struktur (organisasi), sumber daya manusia (personalia), infrastruktur pendukung (sebaran kantor), anggaran, hingga area tugas masing-masing kementerian itu menunjukkan betapa prinsip-prinsip good governance belum berjalan maksimal. 

Apalagi dalam upaya mengadopsi prinsip-prinsip dalam perusahaan swasta multi nasional, atau dikenal dengan budaya korporasi (corporate culture). 

Andre Rosiade, sahabat saya yang menjadi Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, sempat heran dengan kondisi kantor facebook dan instagram di Indonesia. Tidak tampak perusahaan raksasa itu memiliki karyawan. 

Apabila diperhatikan lebih detil lagi, hampir semua ruas jalan di DKI Jakarta dihuni oleh beragam gedung atau fasilitas milik pemerintah pusat dan daerah, berikut Badan Usaha Milik Negara. 

Coba saja uji, misalnya Jalan Pejompongan. Lirik ke kiri dan kanan. Rata-rata yang terlihat adalah perkantoran milik pemerintah, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, hingga pusat. 

Dari sekitar 4,5 Juta Aparatur Sipil Negara --ditambah dengan Polri dan Tentara Nasional Indonesia -, barangkali lebih dari 1,5 Juta bekerja di DKI Jakarta. Belum lagi masing-pemerintahan daerah memiliki semacam kantor perwakilan di Jakarta. 

Situasi seperti ini memerlukan perubahan. Reformasi birokrasi tidak hanya terkait dengan penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, seperti penerapan Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan, Wilayah Bebas Korupsi dan Melayani, atau dalam bentuk awal berupa penerapan delapan area perubahan.

Pada gilirannya, reformasi birokrasi juga perlu menjangkau skala yang lebih atas lagi, yakni bagaimana masing-masing kementerian, badan dan lembaga dibentuk, dikelola, diorganisir dan digerakkan. 

Selama lima tahun terakhir ini, Presiden Jokowi sudah melikuidasi atau menggabungkan sejumlah badan atan lembaga pemerintah yang potensial hanya menghabiskan anggaran dan sumberdaya manusia. Tetapi, langkah itu belum lagi menyentuh kelembagaan yang paling dekat dengan presiden sendiri, yakni kementerian atau setingkat kementerian. 

Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara memang mengatur bahwa jumlah maksimal kementerian negara sebanyak 34. Tetapi, angka maksimal itu tidak perlu lagi diambil. 

Toh sejumlah kementerian bisa saja digabungkan. Tidak ada masalah jika tedapat dua, tiga atau empat kementerian digabungkan lagi. Bahkan bisa jadi lebih banyak, jika kita merujuk kepada Susunan Kabinet di negara-negara moderen dan demokratis 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun