Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Elegi Bisu Prabowo Subianto

23 Februari 2019   21:36 Diperbarui: 24 Februari 2019   13:19 2894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mana bisa mereka diajak dialog. Kalau mau dialog, jangan di lapangan. Lu temui komandannya!" kata Hendro.

Waktu saya sebagai Ketua Umum Studi Klub Sejarah (SKS) UI mengundang Danjen Kopassus Agum Gumelar ke kampus Fakultas Sastra UI, jawaban serupa juga muncul. Syafuan Rozi, seorang mahasiswa FISIP UI menyatakan keheranannya tentang perubahan watak kawan SMAnya setelah masuk militer, ketika bertemu pada hari lebaran.

"Diapain teman saya, Pak?" tanyanya. 

"Oh, itu mereka lagi lucu-lucunya. Itu fase yang wajib dilalui," kata Agum sambil tertawa.

Kami tidak hanya mengundang jenderal-jenderal aktif masuk UI, tapi juga purnawirawan. Yang paling sering adalah Kemal Idris, tokoh Petisi 50 yang pernah mengepung Istana Negara dalam peristiwa 20 Oktober 1952. Himawan Soetanto, komandan penting Divisi Siliwangi, juga saya undang untuk mendiskusikan bukunya tentang Peristiwa Madiun 1948. 

Banyaknya para jenderal, baik purnawirawan atau yang masih aktif, masuk UI menyebabkan UI dimasukkan sebagai kampus intelijen di kalangan mahasiswa lain. Aktivis-aktivis mahasiswa UI yang aktif tidak luput dari tuduhan sebagai perpanjangan tangan militer itu. 

Seingat saya, analisa blok-blok militer yang punya koneksi kepada aktivis mahasiswa UI itu terbagi dua, yakni blok tentara Merah Putih yang terafiliasi kepada Wiranto dan blok militer Hijau (Islam) yang terkoneksi kepada Hartono. Prabowo tidak disebut, selain dianggap lebih dekat kepada Hartono. 

Analisa itu banyak dibantu oleh liputan Tabloid Detak dan terbitan bawah tanah setelah pembreidelan Tempo, Detak dan Editor.

Nama Prabowo baru naik ke permukaan setelah mendirikan satu kelompok studi yang dipimpin oleh Dr Amir Santoso. Amir kemudian digantikan oleh Fadli Zon.

Sejak itu, saya tak lagi berkomunikasi dengan Fadli selama lima tahun. Kami baru bertemu lagi ketika Fadli datang ke acara resepsi pernikahan saya pada 2002. 

Tentu, kami banyak mendiskusikan Fadli. Apalagi, majalah Time sempat menulis tentang Prabowo yang disebut sebagai calon Presiden RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun