Mohon tunggu...
Indradya Susanto
Indradya Susanto Mohon Tunggu... -

Orang baik-baik. Kerjanya nggak jauh dari buku. Sukanya backpacking, wisata kuliner, baca buku, dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berbagi Impian

24 April 2013   08:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:42 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Besoknya, melihatku datang ke sekolah dengan kepala berselimut perban, guru olahraga yang pertama melihatku langsung mengamankan aku di kantornya. Stres dia. “Aduh, anak-anak nanti bakal tawuran ini!” keluhnya setelah mendengar ceritaku. Beberapa guru lain sayangnya terkesan menyalahkan, sehingga langsung kubantah, “Saya yang diserang, Pak! Bukan sebaliknya!” Hari itu sekolah heboh besar. Guru-guru repot. Ada yang berkunjung ke sekolah para penyerang, mengonfirmasi. Beberapa teman di lantai dua berteriak dari atas, “Kita balas nanti siang!” kata seorang teman sambil mengepalkan tangan. Aku punya hubungan baik dengan preman-preman sekolah, walau tak pernah ikut-ikutan mereka. Dan benarlah, siang sepulang sekolah, tanpa diminta siapa-siapa, puluhan anak sekolah dari SMP-ku sudah berkumpul di pinggir jalan, siap “bertempur”. Walau tak ikut-ikutan, dari cerita seorang kawan aku jadi tahu, di pertigaan lampu merah sana puluhan teman mencegat semua bus kota dan menghajar siapa pun yang dianggap musuh. Satu kaca belakang Kopaja jadi korban lemparan batu. Mengerikan kalau harus mengingat itu semua. Untunglah, saat itu sedang masaclass meeting sehabis Ebtanas SMP. Disusul liburan untuk memulihkan diri. Setahun setelahnya, aku masih sekolah di Jakarta. Masih melihat peristiwa yang sama. Pulang dengan rasa khawatir yang sama: matikah aku hari ini? Dikeroyok pelajar-pelajar lain? Atau hanya dipalak dalam bus kota? Hingga suatu hari, saat jam pelajaran sedang berjalan, puluhan anak STM menyerbu sekolahku begitu saja. Mobil-mobil anak-anak kaya dan beberapa guru penyok dan pecah hasil lemparan batu. Sebagian murid melawan balik dalam kepasrahan. Beberapa kaca di gedung sekolah pecah berantakan. Satpam sekolah cuma bisa melerai walau tahu usahanya sia-sia. Polisi datang terlambat saat kerusakan sudah cukup parah dan pihak penyerang sudah kabur. Semua pemandangan itu sangat jelas terlihat dari kelasku di lantai dua. Mau jadi apa aku di kota busuk ini?

***

Bangkok membuat kami terperangah. Pemandangan yang langsung membuktikan bahwa Thailand adalah negara yang dikunjungi 14 juta turis setahun (dua kali lipat dibanding Indonesia) adalah kereta dari bandara yang penuh dengan backpacker waktu itu. Ransel-ransel mereka banyak yang lebih besar daripada backpack 50 liter milikku. Bahkan ada beberapa bule yang bawa backpack gede sampai dua segala, depan-belakang. Kami tak banyak bicara di dalam kereta, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ya, perjalanan akan membuatmu menjadi manusia yang banyak merenung, Kawan. Paul Theroux bilang, “Perjalanan itu bersifat personal. Walaupun aku berjalan bersamamu, perjalananku bukanlah perjalananmu.”

***

Tak ada orangtua yang mau berlama-lama melihat anaknya menderita. Sejak tragedi kening kepala robek itu, aku sudah meminta orangtuaku agar aku bisa pindah ke kota lain. Mereka tak berpikir lama untuk menyetujui permintaanku. Orangtuaku hanya PNS biasa. Kami tinggal di kawasan padat penduduk di pinggiran Tangerang-Jakarta, di sebuah rumah yang dicicil selama 20 tahun di kompleks perumahan departemen tempat ibuku bekerja. Alasan biaya dan birokrasi pindah sekolah yang agak ruwet membuatku harus menyelesaikan kelas 1 SMA di Jakarta. Di pikiranku hanya ada satu keinginan mutlak: hijrah ke kampung halaman ibuku, Yogyakarta.

***

“Saat jalan-jalan, semua rasa tertekan dan kelelahan bekerja lenyap,” celetuknya sambil merebahkan kepala di pundakku. Jelas ia sangat menikmati perjalanan kami. Setelah beberapa hari di Bangkok, kami melanjutkan perjalanan dengan kereta malam menuju Surat Thani, dan lanjut naik bus ke Krabi. Menikmati suasana kota kecil yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk Bangkok yang metropolis.

***

Malam itu, hari yang sama dengan peristiwa pengambilalihan kantor Partai Banteng dengan kekerasan di Jakarta, kereta Senja Utama bergerak pelan menuju Yogyakarta dari stasiun Gambir. Peristiwa penyerbuan tersebut memicu kerusuhan massal di beberapa tempat di kota jahanam itu. Masih belum percayakah engkau kepadaku, Kawan? Bahkan pada malam aku meninggalkan Jakarta, salam perpisahannya justru sebuah peristiwa kerusuhan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun