Di bawah langit-langit pabrik yang rendah dan pengap, mesin-mesin terus meraung, menggiling waktu, menghisap tenaga kami tanpa henti. Aku memandang tempat ini untuk terakhir kalinya. Ruang pabrik yang kaku, dinding-dindingnya yang berlumur jelaga dan minyak, dan lantai beton dingin yang seolah memantulkan bayangan diri. Berapa lama aku di sini? Setahun? Dua tahun? Aku sudah kehilangan hitungan. Semua hari bercampur menjadi satu, dalam ritme lembur yang meremukkan tubuh dan upah yang tidak pernah cukup untuk hidup.
Hari ini hari terakhirku. Besok, aku tak akan lagi di sini, tak akan lagi mendengar suara mesin yang seperti monster besi yang lapar, mendesakku lembur demi lembur. Sudah lama aku berpikir untuk pergi, meninggalkan pabrik ini, dan akhirnya, hari itu tiba juga.
Tapi pergi dari sini tidaklah mudah. Ada tradisi yang harus dipenuhi, sebuah tanda perpisahan yang diam-diam dianggap wajib. Setiap orang yang akan resign harus mentraktir semua orang---pizza. Mengapa harus pizza? Mungkin karena itu makanan yang paling mudah dibagi-bagi, paling terlihat mewah di antara nasi bungkus atau gorengan murahan yang biasa kami makan. Entahlah. Yang jelas, saat seseorang meninggalkan pabrik ini, mereka diharapkan meninggalkan "kenang-kenangan" berupa kotak pizza yang melingkar di atas meja ruang istirahat. Dan hari ini, giliran aku yang memberikan "kenang-kenangan" itu.
Namun, kenyataannya tidak seindah yang terlihat. Aku hanya punya sisa uang dari gaji terakhir, dan itu pun nyaris tak cukup. Tapi aku tak punya pilihan. Aku tahu pandangan mereka, ucapan-ucapan kecil saat aku lewat, seolah mereka menuntut tanda perpisahan itu. Mereka tidak peduli pada nasibku, tidak peduli apakah aku punya cukup uang untuk bertahan sampai mendapat pekerjaan berikutnya. Mereka hanya peduli pada potongan pizza.
Dengan berat hati, kuberikan sebagian besar dari sisa gajiku untuk membeli beberapa kotak pizza. Perutku kosong, bahkan sisa untuk makan malamku pun tak ada lagi. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri: ini yang terakhir. Tak akan ada lagi lembur yang tak terbayar, tak akan ada lagi uang yang kuberikan cuma-cuma untuk sekadar menghormati tradisi.
Seusai traktiran itu, aku duduk di ruang istirahat bersama mereka. Rekan-rekan kerjaku tampak senang, berbisik-bisik sambil melahap potongan pizza itu dengan lahap. Pizza keju, pepperoni, dan ayam pedas... rasa-rasanya, mereka lebih menikmati kepergianku daripada kehadiranku di sini selama ini.
Aku pura-pura tersenyum, menunggu hingga semua orang selesai. Satu demi satu, mereka meninggalkan ruang istirahat, kembali pada kesibukan masing-masing. Saat semua pergi, aku memandangi kotak-kotak pizza yang tersisa. Hanya satu potongan terakhir yang tersisa di salah satu kotak. Potongan kecil yang nyaris tak tersentuh, dibiarkan tergeletak seolah itu sisa yang tak lagi diinginkan. Mungkin mereka pikir itu tak layak, mungkin juga mereka sudah cukup kenyang.
Aku bangkit, melangkah keluar dari ruang istirahat, menahan rasa lapar yang terus mendesak. Tapi, baru beberapa langkah, aku berhenti. Potongan pizza itu kembali terlintas di pikiranku, mengundang dengan aroma sisa-sisa keju yang samar. Perutku mulai bergejolak, memohon pada akal sehatku untuk mengambil potongan terakhir itu. Tak peduli bahwa aku sudah mentraktir mereka, aku yang membelinya, aku yang berhak mendapatkan apa yang tersisa.
Akhirnya, kutekan perasaan ragu itu dan kembali ke ruang istirahat. Langkahku terasa berat, diiringi oleh bunyi mesin-mesin yang memekakkan telinga. Namun, saat aku tiba di ambang pintu, pemandangan di hadapanku membuatku tertegun.
Di atas meja, potongan pizza terakhir itu sudah tak lagi utuh. Di sampingnya, seekor tikus abu-abu besar sedang asyik menggerogoti sisa pizza itu dengan rakus, giginya yang tajam mencabik-cabik potongan terakhir yang tersisa bagiku. Aku menatapnya dalam diam, seolah waktu membeku.