Mohon tunggu...
Indra Joko
Indra Joko Mohon Tunggu... Administrasi - OK

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompasiana, Koran Bekas, dan Media Sosial Video: Menyongsong Masa Depan Dunia Media Tulis yang Tak Pasti

8 November 2024   15:21 Diperbarui: 8 November 2024   15:42 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Video di media sosial menyajikan informasi secara cepat dan langsung, sering kali dikemas dengan gaya menarik yang mudah dicerna. Informasi rumit bisa disederhanakan dalam beberapa detik klip, dan pengguna cukup menggulir layar untuk mendapatkan serangkaian informasi instan. Mungkin karena itulah banyak orang sekarang merasa tak perlu lagi membaca tulisan panjang---meskipun dari sumber terpercaya, mereka lebih memilih konten visual yang instan.

Saat saya kembali menjelajahi Kompasiana, terasa ada semacam jurang yang membatasi. Meski masih ada tulisan-tulisan mendalam, diskusi kritis, dan opini yang bermanfaat, semuanya tenggelam dalam tren baru yang lebih cepat dan singkat. Sama seperti saya yang tidak lagi menemukan koran bekas di lapak-lapak, platform-platform tulis seperti ini pun mulai terpinggirkan, kalah bersaing dengan media sosial yang kini menjadi tempat utama orang mencari informasi. Dan di saat itulah saya benar-benar sadar, perubahan besar dalam cara kita menyerap informasi tidak hanya menggeser media cetak, tapi juga menantang masa depan media tulis digital seperti Kompasiana.

Melihat Kompasiana yang sekarang, saya merasa seperti menyaksikan babak baru dari "bulan madu singkat" media tulis elektronik. Dulu, kehadiran platform seperti Kompasiana, bahkan forum-forum besar seperti Kaskus, sempat menjadi kebanggaan di ranah digital. Masa-masa itu adalah saat ketika media tulis digital terasa baru dan segar, menawarkan tempat yang lebih bebas bagi opini, diskusi panjang, dan berbagai pemikiran yang sering kali tidak bisa ditemukan di media arus utama.

Namun, "bulan madu" itu ternyata hanya sementara, seperti menikmati madu tanpa benar-benar sempat merasakan manisnya. Sebelum media tulis digital bisa benar-benar mengukuhkan posisinya, muncul media sosial berbasis video yang langsung menarik perhatian banyak orang. Dengan konten yang cepat, padat, dan visual yang menarik, platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram Reels membuat orang lebih memilih menonton daripada membaca. Akhirnya, media tulis digital seperti Kompasiana, yang dulu pernah bersinar, pelan-pelan terasa tenggelam---seperti Kaskus yang sempat merajai forum, tetapi sekarang nyaris terlupakan.

Alih-alih berlama-lama membaca, kini orang lebih suka menghabiskan waktu dengan video pendek, yang dirasa lebih mudah dipahami dan lebih "menyentuh" dibanding tulisan panjang. Sumber-sumber kredibel dalam bentuk artikel atau esai kini tersisih, dianggap kurang menarik dibandingkan video viral yang lebih singkat namun langsung "mengena." Di tengah serbuan konten visual ini, Kompasiana dan media tulis lainnya pun terasa seperti suara di tengah keramaian yang semakin sulit terdengar.

Melihat perubahan ini, saya semakin sadar bahwa media tulis elektronik seperti Kompasiana kini bertahan terutama berkat komunitasnya---sekelompok pembaca dan penulis setia yang sering kali terdiri dari generasi yang sudah lebih dulu terbiasa dengan tulisan sebagai medium utama. Para Kompasianer ini sudah seperti sebuah keluarga lama, yang tetap berbagi cerita, opini, dan pengalaman meskipun lingkungan digital di sekitar mereka terus berubah. Namun, di tengah dinamika tersebut, tantangan besar muncul: semakin sulit bagi media tulis elektronik untuk menarik generasi muda yang lebih memilih konten video singkat dan visual.

Generasi muda cenderung lebih aktif di platform video seperti TikTok dan YouTube, di mana informasi tersaji dalam bentuk yang cepat dan menarik, lebih sesuai dengan gaya hidup yang serba instan. Bagi mereka, video-video singkat terasa lebih langsung, menyenangkan, dan mudah dipahami---sesuatu yang sering kali dianggap lebih menarik daripada membaca artikel panjang. Sementara itu, media tulis seperti Kompasiana berjuang menarik perhatian mereka, berupaya menghadirkan artikel-artikel yang relevan dan bermanfaat, meski tetap bersandar pada komunitas yang, perlahan-lahan, juga semakin menua.

Pertanyaannya, apakah media tulis elektronik seperti Kompasiana bisa bertahan di tengah situasi ini? Banyak Kompasianer lama mungkin merasakan hal yang sama: ada kekhawatiran bahwa platform ini akan makin tertinggal jika tidak mampu menarik generasi baru. Tantangan terbesar adalah menciptakan cara agar komunitas ini tetap hidup dan berkembang, mengadaptasi format atau konten yang mampu menjembatani minat generasi muda tanpa kehilangan nilai tulisannya yang khas.

Seperti Kaskus yang dulu sempat jadi kebanggaan komunitas digital Indonesia sebelum akhirnya tenggelam, nasib media tulis elektronik pun kini berada di ujung batas. Jika komunitas setia dan loyalitas Kompasianer bisa terus bertahan, mungkin masih ada harapan untuk mempertahankan ruang ini sebagai tempat berbagi ide dan cerita. Namun, tanpa langkah inovatif, tak bisa dipungkiri bahwa Kompasiana, seperti media tulis digital lainnya, akan makin tersisih di tengah dominasi konten video.

Nasib Kompasiana pun berada di persimpangan: apakah tetap bertahan sebagai ruang komunitas bagi para penulis lepas yang idealis, atau beradaptasi dengan tren baru demi menarik perhatian pembaca yang kini lebih gemar konten video? Sejauh ini, Kompasiana masih menjadi tempat di mana orang-orang bisa berbagi opini, pengalaman, dan pemikiran mendalam. Ini adalah ruang yang memfasilitasi kebebasan menulis, tempat di mana setiap orang, dari amatir hingga profesional, dapat menyampaikan suaranya tanpa harus mengikuti pakem media arus utama. Namun, dengan tren yang bergeser ke media video, Kompasiana pun mulai membuka diri dengan mengakomodasi kiriman berita dalam format video untuk menarik pembaca yang lebih muda dan visual-oriented.

Di sisi lain, langkah ini tidak datang tanpa tantangan. Saat media sosial video memikat para penonton muda dengan alur cepat dan konten yang menghibur, Kompasiana menghadapi kenyataan bahwa tetap relevan berarti harus mampu beradaptasi dengan format baru---meskipun berarti mengorbankan sebagian dari karakternya sebagai platform tulisan murni. Tentu saja, kehadiran konten video ini mungkin membuka peluang baru, tetapi bagi banyak Kompasianer setia, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini bisa memudarkan esensi komunitas yang awalnya lebih literer dan penuh diskusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun