Masih tanya bagaimana? Dibahas oleh tim ahli yang sangat berkompeten saja tetap saja tidak akan mampu memberi solusi yang benar-benar adil dan merata. Bahwa yang sepantasnya dibantu adalah si bungsu yang masih belajar berjalan, lalu si sulung yang sudah bisa membantu orang tua ini harus dijaga agar jangan sampai ngambek, maka si anak tengah haruslah bersabar dan belajar berlari, siapa tau suatu saat akan lebih sukses dari si sulung.
Sedikit saran, si bungsu ini kan sebagian masih suka main-main yang tidak perlu. Diberi sedikit uang saku malah dibelikan rokok. Toh konsumsi rokok sebulan rata-rata 300 ribuan, kalau dari kartu keluar 400 ribu berarti masih ada 100 ribu yang (semoga) bermanfaat. Bagaimana kalau cukai rokok dinaikkan, sebungkus kira kira 50 ribuan, selain membantu kesehatan anggaran juga juga menyehatkan masyarakat. Simple. Namun menjadi tidak simple ketika yang jualan rokok ini adalah si sulung yang sudah bisa nego ke orang tua, bahwa hasil jualan rokok juga disetor ke orang tua, lalu kalo tidak boleh jualan rokok ngambek, ngobrak-abrik seisi rumah. Lihatlah anak paling sulung itu adalah tukang jualan rokok.
Ya sudahlah anak tengah, sebaiknya bersabar, berpikir lagi untuk menyiasati kenaikan harga BBM. Oh ya, kabarnya ada moratorium penerimaan PNS ya? Semoga ini bisa menjadi motivasi buat adik-adik bungsu yang masih kuliah agar tidak terjerumus menjadi si anak tengah, tumbuhkan jiwa wirausaha agar mampu menjadi si anak sulung. Semoga.
Saya anak tengah, saya karyawan, saya terkena Middle Child Syndrom dobel, saya tidak merokok, mohon maaf jika tulisannya terlalu tendensius, semata-mata karena pengalaman pribadi, hehe. Jangan dibawa serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H