Mohon tunggu...
Indra Martha Rusmana
Indra Martha Rusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Indra Martha Rusmana biasa dipanggil Kang Indra adalah sosok Generator Jiwa yang membangkitkan semangat seseorang saat sedang jatuh.

Kang Indra juga disebut Irama, karena hobinya adalah membuat dunia lebih indah dengan senantiasa membuat orang lain bahagia. Baginya, Irama terindah adalah senyum tulus orang-orang yang telah menemukan jalan hidupnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dasar yang Menengah

14 Oktober 2022   08:04 Diperbarui: 14 Oktober 2022   08:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Be A Ba

De U Du

Dibaca: Badu

Begitulah pendidikan dasar yang dulu saya dapatkan. Dimulai dari mengenal huruf, mengeja kata, menulis huruf, mengenal angka, menghitung, hingga kemudian kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa kelas 1 Sekolah Dasar (SD) saat itu adalah dapat membaca, menulis, dan berhitung.

Masih teringat dan terekam jelas guru Sekolah Dasar pada waktu itu benar-benar mendidik, mengajar, dan membimbing siswa dengan sepenuh hati. Sehingga pada akhirnya, saat pembagian buku laporan hasil belajar (buku raport) saat itu yang masih simpel, sederhana, dan dapat terbaca angka-angkanya menjadikan orangtua mengerti, bahwa anaknya kurang pada bidang matematika, IPA, IPS, dan menonjol pada bidang olahraga, bahasa, dan seni.

Ya, buku raport yang sederhana tersebut ternyata lebih membuat para orangtua bertanggungjawab terhadap pendidikan anaknya. Apalagi jika di dalam buku raport ada tinta merah, bisa-bisa di rumah anak tersebut mendapat hukuman dari orangtuanya. Begitu besar peran orangtua pada saat itu dalam dunia pendidikan.

Namun kini, siswa kelas 1 Sekolah Dasar sudah dituntut untuk dapat menulis, membaca, dan berhitung. Materi yang disampaikan pun begitu luar biasa bagi anak kelas 1 Sekolah Dasar. Tidak ada lagi guru kelas 1 SD yang di depan kelas menuliskan ini Budi, ini Tuti, ini Bapak Budi, Bapak ke Kantor, Ibu ke pasar. Kini anak kelas 1 Sekolah Dasar sudah membaca naskah cerita. Mereka sudah membaca teks panjang. Lalu bagaimana dengan konsep pendidikan dasarnya? Pondasi utama dalam pendidikan dasar yaitu calistung, penanaman karakter, dan pengembangan kemampuan lainnya saat ini sudah bias.

Dapat dikatakan jika saat ini, pendidikan dasar telah kehilangan ruh nya. Kenapa dikatakan seperti itu? Karena pendidikan dasar menyerahkan kepada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Sementara konsep PAUD yang di dalamnya adalah proses bermain sambil belajar kini terkikis. Orangtua yang memasukkan anaknya ke PAUD menuntut anak untuk dapat membaca, menulis, berhitung dengan baik dan benar. Jika anak tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung ketika selesai PAUD, maka akan ada label PAUD tersebut tidak baik, gurunya tidak bisa apa-apa, hanya bisa nyanyi dan tepuk-tepuk saja. Padahal anak telah diajarkan untuk memiliki karakter baik, mengantre, berdoa sebelum belajar, berdoa dalam setiap memulai aktivitas apapun, dan dasar dalam beribadah. Memang, anak-anak yang belajar di PAUD juga belajar mengenai calistung, namun itu bukan yang utama. Usia anak-anak di PAUD adalah usia emas. Mereka masih banyak bermain, jangan sampai ketika mereka menjadi dewasa memiliki sifat kekanak-kanakan karena tidak tuntas masa bermainnya.

Jadi, pendidikan dasar harus menjadi pondasi awal bagi individu dalam mengenyam pendidikan. Jika anak langsung masuk Sekolah Dasar, kemudian belum memiliki dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung, baiknya guru kelas 1 Sekolah Dasar memberikan porsi lebih kepada anak yang belum dapat membaca, menulis, dan berhitung, atau bisa juga setiap sekolah mempersiapkan guru kelas 1 sebanyak 2 orang. Sehingga ruh pendidikan dasar menjadi kembali lagi sebagai pondasi awal pendidikan anak untuk ke jenjang selanjutnya.

Konsep pendidikan di dalam Gerakan Pramuka mungkin dapat diadopsi di sekolah dasar, yaitu:

- usia 7 sampai 10 tahun adalah usia siaga, di mana anak belajar dan bermain dengan porsi belajar yang lebih sedikit daripada bermainnya. Belajar dalam usia siaga sebanyak 30% dilakukan oleh peserta didik, dan selebihnya yaitu 70% dilakukan oleh gurunya. Usia ini sampai siswa kelas 4 SD.

- usia 10 sampai 14 tahun adalah usia penggalang, di mana anak mulai belajar bertanggungjawab, kepemimpinan, dan lainnya. Porsi guru dalam mendidik dan mengajar anak usia ini lebih sebagai pelatih yang mendorong anak untuk lebih semangat dalam belajar, latihan, dan lainnya.

Jika kemudian saat ini pendidikan dasar menjadi ke arah pendidikan menengah yang di mana melihat anak sudah memiliki bekal pada pendidikan sebelumnya, jangan salah jika nanti negeri ini akan diisi oleh generasi yang kekanak-kanakan, karena mereka terperangkap dalam usia dewasa namun kurang bermain saat usia anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun