Mohon tunggu...
Indra Gumilar
Indra Gumilar Mohon Tunggu... -

asli urang Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sosok Ulama yang Mengerdilkan Diri

24 Juli 2014   23:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang teman berkata kalau sehabis umroh lalu mengunjungi pusat-pusat riset sains dunia (seperti CERN dan NASA), maka pasti akan menemukan banyak hal yang bertentangan. Karena ketika mengunjungi tepat kegiatan umroh di Mekkah, maka kita akan banyak disuguhi berbagai informasi seputar cerita tentang Nabi Ismail yang melempari iblis dengan batu, malaikat yang turun ke bumi dan berbicara kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan tentang Tuhan (Allah SWT) yang diidentikkan sedang duduk bersemayam di arasy, dan berbagai cerita seputar itu yang biasa kita dengar dari para ustadz.

Sementara ketika mengunjungi pusat riset sains terutama riset kosmologi seperti CERN di Eropa dan NASA di Amerika, maka kita akan menghadapi berbagai informasi tentang jagat raya dan disajikan secara empirik dan pasti bisa diamati dan dijelaskan. Meskipun para saintis semuanya mengakui bahwa proses penelitian masih terus berlanjut dan mereka secara fair mengakui bahwa mereka masih terus meneliti dan belajar. Mereka pun umumnya tidak mudah termakan oleh berbagai dongeng, mitos, dogma, yang pernah mereka dengar dari kalangan agamawan. Mereka mempercayai apa yang layak dipercaya dan tidak mempercayai apa yang memang tidak layak dipercaya. Karena kepercayaan hanya bisa dibangun dari fondasi kebenaran. Akan tetapi satu hal yang menarik adalah pusat-pusat riset itu ada di wilayah yang mayoritas beragama Kristen. Bahkan vatikan secara rutin mengirimkan para sarjananya untuk ikut belajar dan meneliti di pusat-pusat riset tadi, yang bisa jadi didorong oleh keinginan mereka agar dunia Kristen akan berubah menjadi yang tadinya dunia penuh dengan dongeng2 menjadi dunia yang menerima realistis dan logis. Saya melihat dunia Kristen ke depannya akan sangat jauh berbeda dengan dunia Kristen pada abad pertengahan, yang umumnya faham itu masih dianut oleh kalangan Kristen di Indonesia saat ini.

Jika kita mendengar kata ulama, maka kita akan mengasosiasikannya sebagai sosok yang suka mempelajari al Qur'an dan as Sunnah dengan pendekatan metode sastra arab (nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, serta kaidah ushul) yang dikombinasikan dengan berbagai fakta-fakta sejarah dan sains yang lalu dicocok-cocokan agar sesuai dengan isi al Qur'an yang memang makna ayatnya bersifat umum (ijmali) dan hadits yang isinya adalah penafsiran dan perspektif Nabi Muhamad SAW yang secara kebetulan adalah orang Arab dan hidup di kalangan budaya Arab bersama dengan orang Arab pada masa 15 abad yang lalu. Hadits-hadits yang diucapkan dan dilakukan Nabi itu dimaksudkan agar bisa dicerna oleh manusia yang secara sosial budaya adalah orang Arab pada abad ke tujuh masehi. Nabi tidak pernah berinteraksi dengan pusat-pusat peradaban dunia waktu itu (Mesir, Romawi, Mesopotamia, India, dan China).

Saya tentu saja tidak alergi dengan istilah ulama. Yang saya coba pahami adalah pengertian ulama yang berarti orang yang berilmu. Ilmu dalam hal ini adalah sangat luas, bahkan seorang ahli mencopet di pasar bisa jadi disebut orang yang berilmu (ulama) yaitu ulama bidang copet mencopet. Nah kita sekarang focus kepada pengertian ulama yang dimaksud oleh Nabi, yaitu ulama pewaris para nabi (warosatul anbiyaa). Mereka ulama ini tentu saja adalah orang yang mumpuni dalam penguasaan ilmu, alias segala ilmu secara prinsip dia kuasai, dan tentu saja bukan cuma ilmu yang berkutat dalam masalah ritual-ritual ibadah keagamaan, jampe-jampe yang dikutip dari ayat al Qur’an, dan hanya merujuk kepada kitab-kitab penafsiran jadul (yang ditulis 14 – 17 abad yang lalu) yang sekali lagi terlalu berkutat pada pemahaman-pemahaman yang sempit bahkan bisa keliru jauh dari maksud diturunkannya al Qur’an tadi karena yaa namanya juga penafsiran orang yang hidup dengan kualitas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa 14 – 17 abad yang lampau, apalagi jika kitab-kitab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang mempunyai latar belakang yang jauh keilmuannya dari penulis kitab tersebut.

Nah saat ini pengertian atau sosok ulama didominasi atau ditempatkan oleh orang-orang yang jauh dari hal-hal yang bersifat kebijaksanaan dan kemumpunian dalam hal keilmuan. Sehingga orang-orang kebingungan dengan arah dan jalan pikiran mereka ini. Padahal jika memang ulama itu adalah orang-orang pintar, cerdas, dan bijaksana maka sudah seharusnya dia mampu membuat orang lain tercerahkan, bukannya menambah kebingungan bahkan menambah keresahan. Mengingat ulama ini seolah-olah mempunyai mandat langsung dari Tuhan untuk menentukan orang lain itu masuk surga atau masuk neraka. Perkataan ulama menjadi fatwa yang bersifat mengikat dan bahkan bisa menjadi berkekuatan hukum, setidaknya hukum social. Kemumpunian ulama ini harus matching dengan fenomena yang terjadi di alam ini, baik fenomena sains kosmologi, hingga fenomena social dengan adanya lebih dari 7 milyar manusia di bumi ini dengan berbagai pemikiran dan budaya serta tingkat pemahamannya. Seorang ulama pewaris nabi idealnya harus mampu dan tahu betul bagaimana bisa mengambil hati manusia di dunia ini, membangun sesuatu yang visioner, mencerdaskan, mendamaikan, menghargai kemanusiaan, mencerahkan, serta menyadari bahwa risalah pencarian dan perjalanan peradaban manusia terus berlanjut seiring dengan kemajuan peradaban yang dialami oleh manusia itu sendiri.

Sangat ironis jika ada ulama yang tidak sabaran dan langsung main vonis halal dan haram hanya dengan kacamata yang sempit. Patut dicatat bahwa Islam memang lahir di timur tengah, akan tetapi Islam bukanlah timur tengah, karena Tuhan yang menurunkan wahyu adalah Tuhan semesta alam, yang menurukannya kepada para nabi dan rasul yang konon jumlahnya ratusan ribu orang, dan secara kebetulan  Nabi Muhammad SAW adalah orang Arab. Jadi Islam bukanlah budaya arab, dan harus dicerna serta dibuktikan agar Islam bukan menjadi biang kerusuhan, keresahan, kekacauan, serta biang kekerasan di muka Bumi ini. Apalagi jika ternyata kita hanya menunjukan Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sehingga pada akhirnya Islam akan ditinggalkan dan ditertawakan, karena dianggap Islam adalah ajaran penuh dengan kebohongan dan kemustahilan.

Dengan demikian adalah wajar jika saya melihat bahwa yang dikatakan seorang ulama saat ini sangat jarang yang memahami dan mampu memimpin peradaban, memimpin kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan memimpin berbagai inovasi dan perubahan. Ulama saat ini selalu saja dalam posisi yang reaksioner, tergopoh-gopoh dibelakang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan banyak yang mencari proyek alias cari duit dari popularitas “keulamaannya”.

Saya sangat merindukan ulama-ulama yang terakhir kali saya lihat di negeri ini seperti M. Natsir, HAMKA, dan terakhir seorang guru ngaji yang sangat bijaksana KH. M. Rusyad Nurdin di Bandung. Atau bisa jadi mereka saat ini yang sesungguhnya ulama sedang berada dalam posisi yang tidak terlihat oleh masyarakat luas, tapi mereka ini berada di balik baju sebagai pengusaha, sebagai karyawan, sebagai peneliti, dan sebagainya dimana mereka ini adalah orang yang sangat rajin menggali berbagai sumber rujukan dan hasil penelitian dalam upaya mereka menemukan kebenaran yang sesungguhnya….. wallahu a’lam bil murodii….

# wilujeng wayah kieu, selasa 01072014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun