Mohon tunggu...
Indra Gumilar
Indra Gumilar Mohon Tunggu... -

asli urang Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jumudisme

3 Januari 2015   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:53 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begini…. “Jumud” secara bahasa artinya “beku”. Secara makna, jumud adalah pikiran (ataupun jalan pikiran) dimana tak bisa melihat sesuatu yang ada lebih luas lagi dan berfikir stagnan atau merasa mapan dengan pakem pemahaman yang didapat dan dijadikan demikianlah adanya.

Kata Jumud seringkali digunakan dalam istilah kajian yang mengarah kepada pengertian “keimanan” yang tidak ditindaklanjuti untuk pengembangan pemikiran, amalan, dan berbagai implementasi dan prestasi dalam kehidupan yang memberikan manfaat untuk diri dan orang lain. Dengan demikian jumudisme merupakan aliran pemahaman yang menentang perkembangan dan berbagai dinamika perubahan.

Jumudisme lahir akibat beberapa faktor, antara lain:

1.Malas berpikir dan belajar. Ada perumpamaan ketika malas untuk bertanya maka pada saat itulah jalan pikiran terhenti. Sikap pun berubah menjadi fanatik dan taklid buta. Pemahaman yang dia terima sebelumnya dijadikan pakem yang tidak mungkin dia berani untuk merubahnya, meskipun pakem tersebut sangat bisa jadi ternyata tidak mempunyai dasar atau landasan yang kuat, bahkan cenderung abstrak. Malas berpikir dan belajar tentu saja sangat berlawanan dengan konsep “iqra…..!! bacalah…!! pelajarilah…. !! “.

2.Adanya faktor yang ditakuti ataupun yang disukai. Kebanyakan orang saat ini sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang simple seperti ketakutan dan kenyamanan, dimana keduanya bersifat abstrak akan tetapi sangat mudah untuk dirasakan. Keduanya selalu mampu menjebak pemikiran dan perasaan yang mendorong subyektifitas, dan ini merupakan bentuk jumudisme tersendiri. Dengan mudahnya seseorang mudah diarahkan dengan iming-iming pahala serta ditakut-takuti untuk melakukan sesuatu dengan dasar yang disebut dosa. Masalah muncul ketika sebutan pahala dan dosa ini dijadikan komoditi untuk diarahkan kepada suatu kepentingan. Masalah lainnya adalah ketika menentukan suatu perkara halal atau haram dengan mengandalkan satu perspektif dan berbenturan dengan perspektif yang lain yang sama-sama mengklaim perspektif yang didapat adalah yang benar dan yang lainnya salah, padahal keduanya sekali merupakan sebuah perspektif (tafsir). Bahkan perbedaan berbagai tafsir (perspektif) ini dalam sejarahnya bisa mengakibatkan perdebatan, pertempuran, bahkan pertumpahan darah. Pada titik inilah sebagian kalangan justru menyalahkan agama (yang menjadi latar belakang lahirnya berbagai tafsir, perspekti, dan aliran pemikiran) sebagai biang keladi kemunduran peradaban.

3.Faktor dongeng dan keajaiban. Sudah merupakan hal yang seringkali kita ketahui bahwa populasi manusia saat ini masih didominasi kalangan menengah dan miskin. Kedua kalangan ini secara empirik sangat mempercayai bahkan menantikan berbagai keajaiban yang secara irrasional akan merubah nasib mereka jadi lebih baik. Keajaiban memang banyak disajikan dalam berbagai mitos dan dongeng. Bahkan tidak heran mitos dan dongeng ini sangat mendominasi film-film dan cerita yang beredar. Populasi masyarakat dunia saat ini memang didominasi kalangan yang irrasional, dan celakanya kalangan ini dimanfaatkan atau diobyekin kalangan rasional. Berbagai dongeng keajaiban ini cukup efektif dalam membentuk sifat dan paham-paham jumudisme.

4.Arogansi dan gengsi, dimana keduanya sangat kuat mampu mengunci pemahaman dan sikap. Faktor ini lebih kepada subyektifitas yang didasari kepentingan ego pribadi.

Dengan tatanan peradaban manusia yang serba terbuka saat ini, maka jumudisme sangat mudah untuk dideteksi. Memang resiko yang ditimbulkan sangat rawan dan rentan, seperti perdebatan yang tiada berujung, fanatisme dan taklid buta, mobilisasi massa yang sangat mudah oleh kepentingan tertentu (biasanya politik dan pengaruh), hingga terrorisme. Akan tetapi memang begitulah resiko yang harus dialami oleh peradaban manusia saat ini.

Jumudisme sebetulnya tidak akan hilang, dimana satu bentuk jumudisme akan beralih menjadi bentuk jumudisme yang lainnya, kecuali kesenjangan sudah benar-benar mendekati nol. Artinya populasi manusia sudah benar-benar seimbang dan mampu saling mengontrol satu sama lain secara sederajat (tawaashoubil haq wa tawaa shobish shabr). Keseimbangan dan kesetaraan yang disepakati bersama yang membentuk peradaban yang jauh lebih progressif, dan pada masa inilah maka manusia sudah mencapai level yang mampu melakukan “ekspansi” dan memberikan perlindungan yang relative sempurna kepada lingkungan atau komunitas di luar manusia. Memang sebuah cita-cita yang sangat bisa jadi hanya diketahui dan dipahami betul oleh sebagian kecil kalangan yang tergolong visioner dan tahu betul bagaimana membentuk tatanan global yang bisa bersifat seimbang dan harmonis…. Sebuah tatanan yang dilahirkan dari kesepakatan dan kesepahaman berbagai perbedaan dan multiperspektif.

# wilujeng wayah kieu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun