Mohon tunggu...
Indra Gazi
Indra Gazi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STEI Bina Muda Bandung

Bolehlah sesekali mampir ketulisan saya. bukan jadi bahan referensi ataupun jadi motivasi. hanya sekedar pengungkap hati melewati jari menjadi tulisan yang sedikit berarti

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nasihat Terakhir Bapak

6 April 2021   14:10 Diperbarui: 6 April 2021   16:33 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari minggu sehabis shubuh aku berangkat ikut saudara berdagang kerudung ke daerah Soreang. Bukan agenda mingguan namun hanya sekedar melepas penat dari kegiataan di sekolah, oh ya aku merupakan staff disalah satu sekolah di Cicalengka.

Matahari mulai muncul, kerudung yang kami bawa mulai kami tata agar terlihat bagus dan menarik pelanggan untuk mengunjungi lapak kami. Satu demi satu pelanggan berdatangan mulai dari anak kecil, anak muda sampai ibu-ibupun tak lepas berdatangan mengunjungi lapak kami.    

pagi berganti siang, orang-orang sudah mulai pulang dari keramaian maklum di pasar mingguan ini kami memanfaatkan pagi hari saja karena banyak orang yang melakukan aktifitas olahraga setiap minggu pagi disini. Sudah saatnya kami beranjak pulang, barang kami kemas kembali kedalam mobil dan kami langsung beranjak pulang.

Sesampainya dirumah saudara, handphone Nokia 2300 saya dengan ciri khas layar Polyponic nya berdering, telfon masuk maklum di tahun 2012 orang masih awam dengan Android apalagi Whatssapp. Ternyata bapak yang telfon menyuruh saya untuk pulang.

Didepan rumah saya merasakan hal yang aneh, kondisi halaman rumah yang biasanya ramai dengan suara anak-anak bermain, adik kaka yang jahil, atau ibu yang memperhatikan anaknya bermain tiba-tiba kok sepi. Tak digubris saya langsung masuk rumah dan ternyata semuanya sedang berkumpul diruang tamu mendengar nasihat dari bapak. Satu ciri khas dari seorang bapak, ketika bapak berbicara tak ada seorangpun yang berani menatap matanya apalagi melawan omongan bapak.

Saya dipanggil oleh bapak, duduk didepan bapak dengan menggunakan kaos oblong dan celana robek-robek yang dipakai ketika jualan yang belum sempat saya ganti. Bapak memahaminya, maklum saya anak yang paling berbeda diantara anak-anak bapak yang lainnya. Bapak berkata "A sing inget shalat, sakulama beunghar harta , kasep, dipandang hade ku batur, ai tara solat mah percuma. Solat teh nu utama nu jadi pambuka pikeun amal-amal nu lain.  A jadi jalmi teh sing bisa manteskeun diri, pantes ceuk sorangan can tangtu pantes ceuk batur. Sok tong mamake calana soek wae kan aa teh ayeuna mah di sakola ngajar sing isin ku batur. 

Dalam hati bergerutu pak ieu model kekinian anak muda zaman ayeuna. Namun tak berani saya mengungkapkannya saya cuman bisa diam dan menunduk. Bapak melanjutakan omongannya "Yeuh a ai usaha mah can tangtu, aya majuna aya ereunna, aya ramena aya tiisna, komo ieu ngan saukur mimilu ka batur. Sok aa kan ayeuna mah tos damel disakola, sing fokus kana padamelan disakolana. Sakali-kali meunang milu jualan ngan ulah dijadikeun nu utama inget nu jadi kawajiban utama mah di sakola. 

Saya cuman bisa menunduk dan mengangguk . "Aa sing nyaah kanu jadi Indung, silih tulungan kanu jadi dulur, adi aya kasusah sok tulungan, heulakeun tulungan dulur da sagala ge pasti jeung dulur heula terus bapak menta hampura bapak sok curak carek kahidep. Jug ayena mah geura mandi geura emam tuh si mamah ngagoreng kacang karesep hidep. Beranjak saya dari ruang tamu dan menyegerakan pergi ke kamar mandi.

Selepas mandi sambil makan saya teringat lagi apa yang barusan bapak sampaikan kepada saya. Tidak biasanya bapak sampai mengumpulkan, menasehati serta meminta maaf kepada anak-anaknya. Karna badan capek dan besok saya harus berangkat ke Bogor sayapun istirahat.

Adzan shubuh berkumandang, bersama bapak saya berangkat ke Mesjid untuk melaksanakan shalat berjamah. Ditempat favoritnya dipojok kanan saya menemani bapak shalat. Sehabis shalat bapak langsung pulang sedangkan saya harus ke kantor dulu yang tempatnya tidak jauh dari mesjid untuk mengambil surat tugas karena pagi ini saya ditugaskan untuk menemani salah satu siswi yang ikut berkompetisi di Bogor. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba rumah mendadak ramai. Saya langsung berlari kedalam rumah dan melihat bapak tidak sadarkan diri. "Bapaaaaak" saya berteriak histeris sambil menghampiri bapak yang sedang dipeluk oleh ibu. Sebagian saudara langsung menyiapkan mobil dan sebagiannya lagi menyiapkan perlengkapan yang harus dibawa.  

Tujuan awal kita langsung kerumah sakit Ranca Badak yang sekarang lebih dikenal dengan rumah sakit Hasan Sadikin. Didalam mobil sambil memijit bapak sesekali saya menyadarkan bapak dengan harapan bapak segera sadarkan diri. Kondisi jalan yang macet parah karena berbarengan dengan jam orang yang berangkat kerja, berangkat sekolah serta berangkat kuliah  yang akhirnya kita berinisiatif membawa bapak ke rumah sakit AMC untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Sesampainya di rumah sakit AMC bapak langsung diberi penanganan langsung. Hati mulai sedikit lega karena bapak langsung ditangani. Sembari menunggu hasil Ibu mencoba menghubungi saudara-saudara memberi kabar tentang bapak serta saya langsung mencari informasi tentang rumah sakit-rumah sakit yang ada di Bandung yang mempunyai kamar ICU karena kebetulan di AMC ruang ICU penuh. 

Hati sakit campur emosi ketika rumah sakit yang saya telfon selalu memberi konfirmasi kalau ruang ICU dirumah sakitnya penuh. Karena tidak percaya saya langsung mengajak saudara saya untuk mendatangi langsung ke tiap rumah sakit itu dan hasilnya tetap nihil. Usaha sudah maksimal namun apa daya hasil yang didapat malah nihil, akhirnya saya pasrah dan berharap ini tempat terbaik untuk merawat bapak.

Waktu silih berganti jam demi jam ,pagi beranjak siang, siang beranjak sore namun tetap tidak ada kemajuan dengan kondisi bapak yang masih tidak sadarkan diri. Sore beranjak malam, adzan magrib berkumandang saya beranjak mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat magrib. Disujud terakhir dengan mata yang terus berderai air mata saya berucap " Robbigfirli robbigfirli robbigfirli waliwa lidaya warhamhuma kama robbayani shoogiro" berharap ada keajaiban yang menimpa bapak. 

Dalam doa setelah shalat mata yang masih menangis tersedu-sedu saya berpasrah kepada  Allah SWT " Ya Allah sehat adalah kehendakMu, begitupun sakit. Kesembuhan ada ditanganMu begitupun kematian. Jika engkau mengijinkan bapak saya untuk sembuh dan sehat maka sadarkanlah bapak saya, jangan membuat kita menunggu dengan penuh harap. Tapi jika sudah saatnya bapak pulang maka segerakanlah, jangan engkau membuat bapak saya merasakan sakit menjelang ajalnya".

Malam tiba, kaka menyuruh kita untuk pulang dan beristirahat agar bisa giliran menjaga bapak esok harinya. Malam ini kaka dan saudara yang jaga terlebih dahulu.  Saya, ibu serta adik-adik saya beranjak pulang dengan hati tak nyaman dan fikiran yang tak karuan, Dirumahpun kami terus was-was berharap ada kabar baik dari bapak. Makan tak enak tidurpun tak nyenyak.

Keesokan harinya selepas shalat shubuh Ibu menyiapkan sarapan serta barang yang akan kita bawa pagi ini sedangkan saya mengeluarkan motor dan memanaskannya agar bisa langsung dipakai. Ibu sengaja tidak membangunkan anak-anak yang lain, biar ibu dan saya saja yang berangkat kerumah sakit menggunakan motor. Selepas sarapan kita beranjak pergi kerumah sakit dan menitipkan adik-adik yang masih tertidur ke saudara yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah saya.

Entah kenapa dalam perjalan saya ingin cepat-cepat sampai rumah sakit. Tanpa ragu saya menaikan kecepatan motor yang kita pakai. Ibu hanya terdiam, yang saya fikir ibu juga menginginkan hal yang sama. Sesampainya dirumah sakit belum juga saya parkir motor, kita sudah disambut oleh saudara saya didepan pintu masuk rumah sakit. Saya parkir motor dan kita menghampiri saudara saya, dengan mata yang berkaca-kaca saudara saya bilang ke ibu " Teh bapak tos ngantunkeun, teteh sing sabar, sing ikhlas. Ieu tos jadi takdir ti Gusti Alloh". Seketika hati saya hancur sehancur hancurnya, derai air mata mengalir. Ibu dan saya langsung berlari mengahampiri bapak yang terbaring kaku di ruang HCU. "Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji'un Bapaaaaaaaak".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun