[caption id="attachment_97127" align="aligncenter" width="460" caption="Ilustrasi by http://matanews.com"][/caption]
"Emak... Awang pulang" teriak Awang saat membuka sepatunya di depan pintu rumah.
"Ya sudah masuk, jangan lupa buka bajunya langsung mandi terus shalat!"teriak ibunya di dapur.
Setiap harinya Awang harus pulang hingga sore hari, kadang hingga pukul lima. Maklum tempat Ia menuntut ilmu sangat jauh. Sekitar 15 KM Ia harus berjalan kaki melintasi bukit pegunungan dan sawah. Belum lagi pendakian yang meletihkan dan terkadang membuatnya harus berganti baju di sekolah karena berkeringat. Terkadang ada orang yang berbaik hati mengantarkannya ke sekolah.
Bersama keluarga Ia tinggal di desa Putih Bunga di pedalaman Kalimantan Timur. Ibu dan ayahnya hanyalah petani karet. Dari hasil kerja keras orang tuanya itu Ia bisa terus menimba ilmu di sekolah. Kakaknya adalah buruh lepas di perusahaan batu bara yang terus mengeruk kekayaan bumi pulau Borneo.
"Allahuakbar....Allahuakbar..." terdengar kumandanga Adzan dari surau. Segera bergegas Awang bersipa menunaikan shalatnya. Sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan padanya agar selalu dekat dengan Tuhan. Namun, kali ini tidak seperti biasanya setelah shalat Ia duduk lebih lama di atas sajadah usangnya.
Tampak Ia menengadahkan kedua tangannya lalu memanjatkan doa. Terdengar samar dengan suaranya yang peruh, tapi tergambar jelas sebuah ketulusan curahan hati kecilnya.
"Ya Allah...
Ibu guruku menuliskan Earth Hour 60+ di papan tulis. Aku tidak mengerti apa artinya. Tapi ibu guru hanya bilang kalau kami harus mematikan lampu 1 jam. Aku tidak diberi tahu gunanya.
Tapi Ya Allah... Bagaimana mungkin kami mematikan lampu? sedangkan kami tak punya listrik. Sejak akuterbangun tidak pernah sekalipun aku melihat sinar lampu menyilaukan mata.
Kami tidak pernah tahu besar watt lampu, yang kami tahu hanya batang lilin. Kami tidak pernah mengatakan bohlam lampu pecah atau putus, yang kami tahu hanya lilinnya sudah habis. Kami tidak pernah mengenal korsleting listrik, yang kami tahu hanya kebakaran karena lilin.
Haruskah aku mematikan lilinku ini. Hanya cahaya itu yang menemaniku shalat, belajar, mandi, kencing, hingga tidur. Bila tidak dengan lilin itu saya tidak akan pernah berani buang air bila larut malam. Subuh hari hanya lilin yang menemaniku mandi di sungai sebelum berangkat ke sekolah.
Ya Allah.... Aku rasa kami sudah cukup membantu bumi ini bernafas. Jujur kami tidak tahu pemanasan global, lubang ozon, kutub es meleleh dan lainnya. Bagiamana kami bisa tahu, kalau hanya kegelapan di bangun dan tidur kami. Tetangga kami tidak satupun yang punya TV.
Kami tak perlu lagi ikut berkampanye, kalau hanya sekedar mengikuti trend. 60+ detik dan menit dari mereka mematikan lampu tidak akan mampu menandingi kami yang sudah 60 tahun. Biarlah mereka berkampanye, kami hanya bisa meratapi gelapnya malam mungkin hingga sepanjang masa.
Ya Allah... Mengapa kau tega kepada kami. Lihatlah... Gunung itu sudah habis dikeruk oleh penguasa dan pengusaha. Batu baranya habis tak tersisa, kini meninggalkan kubangan air di lubang besar bak danau buatan. Kata Ibu guru, batu bara bisa menjadi listrik, lalu mana bagian kita, mana buktinya? bukankah itu milik kita bersama. Hanya mereka yang bisa sejahtera sedangkan kami mendera derita.
Ya Allah... Aku bukannya tidak bersyukur. Hamba sangat bersyukur karena dalam setiap kegelapan ini kau berikanku waktu lebih banyak belajar. Redupnya cahaya lilin membuat aku harus membaca dengan teliti. Dari gelapnya rumahku ini, aku bisa melihat terangnya dunia.
Tanpa internet aku bisa ikut lomba cerdas cermat di kota, kubanggakan orang tuaku. Jauh lebih baik dari mereka yang punya rumah dengan cahaya lampu berwarna-warni. Hanya bisa bermanja-manja dengan benda mewah yang merusak dunia. Mereka takut gelap tapi hatinya sendiri gelap gulita. Astaga... Maafkan hamba Ya Allah.
Ya Allah.... 60 detik lebih sudah aku berdoa kepadamu. Terakhir dari doaku, berikan keselamatan dan kesejahteraan pada bumi ini. Kami semua sayang dengan Bumimu, jangan biarkan mereka yang serakah terus merusak bumimu.
Ya Allah... Bumiku... Hanya ini 60+ yang bisa kuberikan untuk merayakan tulisan Ibu guru di papan tulis. Semoga Allah mengabulkannya. Amin..."
"Awang...!!! Bapakmu sudah pulang" teriak ibunya di luar rumah.
"Sebentar Mak... Saya nyalakan lilin dulu" bersegera ia menyambut ayahnya yang baru tiba sepulang dari kerja dengan sebatang lilin di tangan kirinya.
(*-*)
Banyak yang mengakampanyekan keberhasilan Earth Hour 60+ di dunia. Bahkan kita sempat melihat jauh ke luar negeri ini. Tapi kita lupa, bahwa saudara kita di ujung pulau sana sudah merayakannya lebih dulu, jauh lebih lama dari sekedar 60 detik atau 60 menit. Jelas mereka lebih berjasa pada bumi ini dibalik kekurangan yang mereka hadapi. Kapankah kita bisa melihat rumah mereka terang menderang?
Sekian dan terimakasih. Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H