Bisakah kita hidup dengan nyaman? Pertanyaan ini seringkali muncul ketika seseorang merasa bingung dengan realitas rasa nyaman itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Rasa nyaman seorang individu bisa bervariasi, salah satunya adalah saat dimana seseorang terhindar dari pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan bentuk perilaku atau perhatian dengan nuansa seksual yang tidak diinginkan oleh korban, sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, gangguan psikologis, dan bahkan trauma. Tindakan ini dapat mencakup berbagai bentuk, mulai dari permintaan layanan seksual sebagai imbalan, pemaksaan dalam aktivitas seksual, hingga pernyataan merendahkan yang berkaitan dengan orientasi seksual atau tubuh seseorang. Pelecehan seksual tidak selalu terjadi secara langsung, seringkali terjadi dalam bentuk verbal seperti ucapan, isyarat, atau perilaku yang berkonotasi seksual.
Ironisnya, terkadang korban merasa diposisikan sebagai sumber masalah. Ketakutan akan stigma sosial, ancaman balasan, atau justifikasi pelaku membuat sebagian besar korban memilih diam, bahkan untuk waktu yang sangat lama. Ketika korban mencoba melapor, mereka sering kali dihadapkan pada penyangkalan institusi, ketidakpercayaan dari lingkungan sekitar, atau yang paling menyakitkan, tuduhan mereka bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Hal-hal ini memperumit proses penyembuhan korban secara emosional maupun sosial.
Pada tahun 2025, sudah tercatat ada sekitar 1.137 kasus kekerasan dengan rata-rata korban adalah wanita usia 13-17 tahun, data ini diinput oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tanggal 1 Januari 2025 hingga saat artikel ini dibuat pada tanggal 22 Januari 2025. Belum lama ini, seorang pria penyandang disabilitas bernama I Wayan Agus Suartama menjadi perhatian, hal ini disebabkan karena polisi tetapkan Agus sebagai tersangka atas dugaan pelecehan terhadap 15 orang. Sedangkan di tahun 2012, terungkap sebuah skandal yang melibatkan hampir 100.000 orang menjadi korban kekerasan seksual di sebuah organisasi yang bernama Boy Scouts America kepanduan untuk anak laki-laki. Profil korban memang sebagian besar adalah remaja yang rentan terhadap eksploitasi, seringkali berasal dari lingkungan dengan minim edukasi seksual, sementara ada kemungkinan bahwa sebagian besar pelaku adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, atau guru.
Pemerintah sendiri sudah membuat sebuah regulasi, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Di pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 menjelaskan bahwa hukuman yang ditujukan untuk pelaku kekerasan seksual adalah dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp10.000.000,00. Di ranah internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melayangkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1820 (2008), S/RES/1820(2008). PBB memastikan bahwa semua korban kekerasan seksual, khususnya perempuan dan anak perempuan, memiliki perlindungan yang sama di bawah hukum dan mendapatkan keadilan, dan menekankan pentingnya mengakhiri tindakan kekerasan seksual sebagai bagian dari upaya mencari perdamaian, keadilan, kebenaran, dan rekonsiliasi nasional yang berkelanjutan.
Kasus kekerasan seksual yang telah terjadi mencerminkan masalah sistemik yang perlu diperhatikan dengan serius dan ditangani secara komprehensif. Dengan tercatatnya 1.137 kasus kekerasan seksual di Indonesia dan skandal yang terjadi di Amerika serikat menunjukkan bahwa masih ada oknum yang memang tidak takut atau bahkan tidak memiliki efek jera dengan adanya pidana atau hukuman yang sudah ada dan tidak menutup kemungkinan bahwa siapapun bisa jadi pelaku kekerasan seksual, bahkan seorang disabilitas juga bisa menjadi pelakunya. Kekerasan seksual juga tidak selamanya dialami oleh perempuan saja, dari 1.137 kasus kekerasan seksual, terdapat 267 korban yang berjenis kelamin laki-laki. Ini menunjukkan bahwa semua gender diharuskan untuk tetap waspada terhadap kekerasan seksual.
Meski sudah ada beberapa regulasi yang mengatur tentang kekerasan seksual, namun hal ini masih menjadi masalah kompleks, ini dibuktikan dengan masih adanya pro kontra terkait efektivitasnya. Salah satu kritik utama adalah bahwa penanganan kasus masih terasa menyulitkan korban atau pelapor dan pendekatan yang seringkali terlalu fokus pada aspek hukuman tanpa cukup menekankan pada upaya pencegahan atau rehabilitasi jangka panjang. Dari beberapa korban yang melapor kepada polisi, mental dan psikologi korban tidak diperhatikan dengan hati-hati, korban diminta untuk menemukan alat bukti, memperagakan ulang tragedi pelecehan seksual, dan mengikuti prosedur yang memang kurang memperhatikan psikologi korban. Namun, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal mengatakan bahwa polisi telah memenuhi kewajibannya dengan menjamin hak dari korban. Beliau mengatakan bahwa seluruh korban kekerasan seksual akan diperiksa oleh unit yang dikhususkan untuk menangani kasus kekerasan seksual. Unit yang bernama Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) ini berisikan polwan yang sudah dilatih sehingga bisa mengatasi kasus ini dengan kompeten.Â
Kekerasan seksual tetap menjadi masalah serius yang mencerminkan kelemahan dalam sistem pencegahan, penanganan, dan penegakan hukum. Meskipun sudah ada regulasi seperti Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 dan unit khusus seperti PPA, implementasi kebijakan ini belum sepenuhnya efektif. Hal ini terlihat dari masih banyaknya korban yang merasa prosedur hukum tidak berpihak pada mereka, serta hukuman yang dianggap terlalu ringan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Selain itu, fokus yang berlebihan pada aspek hukuman tanpa memperhatikan pencegahan dan rehabilitasi jangka panjang menunjukkan perlunya perbaikan mendasar.
Pemerintah perlu memperkuat pendekatan secara menyeluruh yang mencakup edukasi seksual dan penyebaran layanan pemulihan psikologis untuk korban secara menyeluruh. Selain itu diperlukan hukuman yang harus bisa menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Kolaborasi dan kerja sama antara masyarakat, lembaga terkait dan pemerintah guna mencegah adanya kekerasan seksual. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI