Di bulan Mei 2018, harga minyak mentah dunia mulai beranjak naik dan sempat mencapai 80 USD per barel. Sebagian analis juga memprediksi bahwa harga bisa saja mencapai lebih dari 100 USD di 2019, mengingat Sanksi Iran oleh Pemerintahan Donald Trump dan juga ditambah kesepakatan negara negara OPEC untuk tidak menaikkan produksi minyak mentahnya.Â
Disaat yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dollar pun mengalami depresiasi yang cukup besar dan saat ini sudah mencapai lebih dari 14100 per dollar amerika serikat. Kedua hal ini tentunya merupakan "Duet Maut" yang sangat membebani Pertamina, yang diberikan amanat untuk menyalurkan BBM ke seluruh Indonesia, namun disaat yang sama tidak diberikan ruang untuk menyesuaikan harga jual Premium maupun solar dengan dalih menjaga stabilitas. Apabila kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu 6 bulan kedepan, maka bukan tidak mungkin Pertamina akan mengalami kesulitan Likuiditas dan dapat menghambat program-program RDMP maupun Kilang GRR baru yang telah direncanakan selama ini.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, untuk dapat mengurangi beban Pertamina dan sekaligus memberikan pilihan yang terbaik pada masyarakat pengguna BBM?
Sektor tranportasi saat ini mengkonsumsi kurang lebih 46% dari total BBM di tanah air, dan sebagai negara net importir minyak, hal ini menjadikan trade balance Indonesia selalu negatif dalam sektor Oil & Gas. Sepanjang tahun 2017 saja, defisit Oil & Gas telah mencapai 8,5 Milyar Dollar dan tahun 2018 ini dengan nilai tukar yang semakin tinggi, bisa diramalkan defisit ini akan semakin membengkak.Â
Lain halnya dengan nasib Bio-Ethanol. Sampai dengan bulan Mei 2018, Kewajiban mencampurkan Bio-Ethanol kedalam BBM Bensin yang tertuang Pada PERMEN No 12/2015, hanya sekedar peraturan di atas kertas saja. Produksi Bio-Ethanol grade Bahan Bakar di Indonesia, semuanya tidak terserap dikarenakan tidak ada mekanisme cross-subsidi seperti halnya yang berlaku pada Biosolar (FAME). Padahal dari segi Energi Density, Pemanfaatan BBN pada sektor transportasi adalah hal yang paling optimal. Banyak hal positif yang bisa didorong lewat penggunaan BBN, diantaranya :
- BBN adalah renewable energy dan bisa dihasilkan di dalam negeri
- BBN memiliki Energy Density (Volumetric) yang relatif tinggi, baik Biodiesel maupun Ethanol.
- Untuk menghasilkan BBN, rantai pasoknya melibatkan banyak sekali tenaga kerja, mulai dari Penanaman sampai dengan Bio-Refinery
- Tidak memerlukan infrastruktur tambahan yang cukup besar dalam hal distribusi
- Bisa dikonsumsi oleh kendaraan yang sudah ada dipasar (sampai dengan persentase blended tertentu) maupun kendaraan baru yang didesain khusus untuk penggunaan BBN (Flexy Engine). Saat ini Sepeda Motor bisa menggunakan Ethanol sampai dengan E-10, sedangkan mobil sudah bisa menggunakan E-20.
Terkait Ethanol, Pemerintah juga bisa mendorong, Pemanfaatan 2nd generation Technology, dimana raw material yang digunakan adalah bersumber dari selulosa dan tidak lagi menggunakan feedstok generasi pertama, seperti Tebu dan Jagung. Lewat teknologi ini, Indonesia bisa mengembangkan sumber feedstock selulosa yang tidak merupakan bahan pangan dan ditanam pada area Non-Arable land. Salah satu yang cukup prospek adalah pemanfaatan Napier Grass sebagai feedstock untuk Bio-Ethanol. Sudah selayaknya para Investor dibidang ini, bisa mendapatkan Tax Holiday yang baru baru ini dikeluarkan oleh Pemerintah. Dari data Kementerian Pertanian, Sumatera dan Kalimantan memiliki peluang untuk mengembangkan lahan Feedstock untuk Napier Grass.
Di pertengahan tahun 2017, ESDM juga berupaya untuk mengakselerasi Pemanfaatan Kendaraan Listrik, dimana tujuan utamanya adalah untuk mengurangi penggunaan BBM. Namun dikarenakan teknologi kendaraan listrik yang masih belum mature, maka akan menjadi sangat sulit untuk bisa memulai penggunaan kendaraan listrik, terutama pada ranah kendaraan pribadi. Faktor teknologi baterai, masih merupakan kendala utama saat ini, dimana harga yang cukup mahal dan juga waktu charging yang cukup lama.Â