Pada saat peluncuran program Kampus Merdeka Kemdikbud beberapa bulan yang lalu, beberapa teman dari media meminta pendapat saya tentang prodi apa yang paling urgent untuk dibenahi di perguruan tinggi Indonesia. Tanpa ragu saya jawab, "Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)." Pendapat saya tentang pentingnya pendidikan di tingkat dasar dikuatkan dengan laporan Bank Dunia pada tahun 2014 yang disusun oleh Nancy Guerra, Kathryn Modecki, dan Wendy Cunningham, dengan judul "Developing Social-Emotional Skills for the Labor Market" jika dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia "Mengembangkan Keterampilan Sosial Emosional untuk Pasar Tenaga Kerja
Keterampilan Sosial Emosional untuk Pasar Tenaga Kerja: PRACTICE framework
Didalam laporan tersebut tertulis bahwa ada 8 (delapan) keterampilan sosial emosional yang paling dicari oleh para pemberi kerja (employers) pada saat merekrut tenaga kerja (employees) di abad 21 ini. Kedelapan keterampilan tersebut diberikan istilah PRACTICE oleh para penulis karena meliputi: Problem Solving (memecahkan masalah); Resilence (ketangguhan), Achievement Motivation (motivasi berprestasi); Control (pengendalian); Teamwork (bekerja sama); Initiave (prakarsa); Confidence (kepercayaan diri); dan Ethics (etika).
Laporan Bank Dunia tersebut diatas juga menjelaskan bahwa keterampilan dipelajari melalui proses yang membutuhkan waktu dan melampaui beberapa tahap perkembangan. Hanya pada rentang usia tertentu keterampilan baru dapat dikuasai secara optimal. Untuk menguasai suatu keterampilan harus diselaraskan dengan kapasitas perkembangan diri. Dengan demikian berarti ada periode tertentu yang membuat proses akuisisi keterampilan menjadi optimal. Contoh paling umum adalah pembelajaran bahasa asing. Masa perkembangan optimal adalah antara usia 3 sampai 6 tahun, tetapi bukan tidak mungkin dikuasi pada usia diluar rentang usia tersebut, hanya saja mayoritas pembelajar yang lebih tua tidak mampu berbicara dengan aksen penutur asli.
Kedelapan keterampilan PRACTICE tersebut diatas ternyata periode optimal perkembangannya adalah pada usia 6 sampai dengan 11 tahun. Dengan kata lain keterampilan-keterampilan yang sering disebut juga sebagai karakter ini akan maksimal perkembangannya jika dipelajari pada bangku Sekolah Dasar. Hal ini yang membuat prodi PGSD sangatlah penting dalam mensukseskan program pembangunan SDM Unggul.
Program Studi PGSD saat ini rata-rata mewajibkan lulusannya untuk menyelesaikan kurang lebih 50 (lima puluh) mata kuliah selama 8 (delapan) semester. Dari sekian banyak mata kuliah, tidak ada satupun yang membahas tentang PRACTICE framework, 8 (delapan) keterampilan sosial emosional yang paling banyak dicari para pemberi kerja saat merekrut pencari kerja di abad 21 ini. Dari banyaknya mata kuliah dapat disimpulkan bahwa kurikulum prodi PGSD berparadigma bahwa pendidikan itu bagaikan mengisi ember.
Kualitas Guru dan Pembelajaran di Sekolah Dasar
Hasil dari program studi PGSD baik untuk program sarjana maupun program Pendidikan Profesi Guru (PPG) tercermin dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan oleh Kemdikbud tahun 2015, 2016, dan 2017. Dibandingkan dengan guru-guru dari tingkat TK, SMP, maupun SMA, para guru SD mendapatkan skor terendah pada setiap tahun UKG dilesenggarakan. Pada tahun 2015 mendapatkan skor 40,14 sedangkan guru TK 43,74, guru SMP 44,16, dan guru SMA 45,38. Pada tahun 2016 para guru SD mendapatkan skor 63,80 sedangkan guru TK 65,82, guruSMP 65,33, dan guru SMA 66,66. Dan pada tahun 2017 rerata skor UKG guru SD adalah 62,22 sedangkan guru TK 68,23, guru SMP 67,76, dan guru SMA 69,55. Dengan kata lain para guru SD memiliki tingkat kompetensi yang paling rendah dibandingkan guru dari jenjang lain.
Rendahnya kompetensi para guru SD tercermin dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dapat dilihat pada situs resmi Kemdikbud https://puspendik.kemdikbud.go.id/inap-sd/. Data tersebut menunjukkan 77,13% siswa SD kemampuannya kurang dalam matematika, 73,61% siswa SD kurang dalam sains, dan 46,83% siswa SD kurang dalam hal membaca.
Revitalisasi prodi PGSD sepertinya harus menjadi prioritas Kemdikbud jika pembangunan SDM Unggul menjadi target kerja pemerintah. Lemahnya kemampuan anak-anak SD ini berdampak pada lemahnya SDM Indonesia secara umum. Pendidikan di tingkat dasar ini harusnya membentuk fondasi yang kuat bagi generasi penerus bangsa.
Program Kampus Merdeka dari Kemdikbud dapat menjadi langkah awal untuk pembenahan prodi yang sangat penting bagi kemajuan bangsa ini. Perubahan definisi sks dari "jam belajar" yang hanya sebatas jam tatap muka dikelas menjadi "jam kegiatan" yang memberi kebebasan untuk melakukan kegiatan diluar program studi maupun diluar perguruan tinggi, secara otomatis sudah mengurangi jumlah mata kuliah yang diambil oleh para calon guru. Mereka dapat mendalami 8 (delapan) keterampilan sosial emosional (PRACTICE framework) dalam bentuk nyata bukan sekedar teori.
Tentunya untuk memberikan dampak positif secara signifikan perlu kebijkan-kebijakan pendukung lain seperti penyerdehanaan kurikulum, pemberian beasiswa dan atau ikatan dinas yang akan bermanfaat untuk mengisi kekurangan guru-guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar Indonesia), serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang ekstensif dalam pembelajaran untuk prodi PGSD. Dengan demikian akan muncul para pendidik unggul yang mampu mencetak SDM Indonesia Unggul seperti yang dicita-citakan sejak era kemerdekaan.
#SDMUnggul #IndonesiaMaju #MerdekaBelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H