Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Kita tidak hanya bicara murid saja, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana dan prasarana.
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut.
Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan sebanyak 43,88 persen mahasiswa dan pelajar.
Padahal, menurut seorang wanita tuna netra pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah sikap toleran.
Pembenahan Mutu Pendidikan
Untuk membenahi mutu pendidikan bukanlah hal yang bisa dilakukan sekejab mata. Dalam catatan saya, ada beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah. Pertama, perlu dilakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan.
Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0.
Kedua, perlu adanya evaluasi terhadap anggaran pendidikan. Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2019 mencapai Rp2.094,35 triliun.
Kondisi ini berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, yang dievaluasi berbagai pihak. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal.
Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20% dari APBD diluar gaji pendidik