BAYANGKAN, apa yang kira-kira terjadi apabila kita membangun sebuah rumah tanpa ada cetak biru? Kemungkinan ruangan-ruangan akan terbangun tidak sesuai dengan harapan kita; dapur menjadi kamar mandi, kamar tidur menjadi ruang keluarga, dan pintu atau jendela yang salah tempat.
Waktu pengerjaan pastinya akan bergeser lebih lama dari jadwal dan rencana anggaran dan biaya (RAB). Bangunan juga akan meleset jauh dari perencanaan.
Inilah kira-kira yang terjadi dengan program pembangunan manusia Indonesia saat ini melalui sistem pendidikannya yang memiliki RAB 20% dari total anggaran, baik APBN maupun APBD sesuai dengan amanat konstitusi.
Tidak mengherankan bila Menteri Keuangan Sri Mulyani berulang mempertanyakan hasil dari pendidikan Indonesia yang menghabiskan APBN Rp400 triliun tiap tahun, belum termasuk APBD. Beliau juga membandingkan kualitas pendidikan Indonesia yang justru semakin tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam.
Sampai saat ini Indonesia tidak memiliki cetak biru/grand design pendidikan yang terintegrasi dan berkesinambungan antarkementerian, lembaga, serta pemerintah daerah di level provinsi maupun kota/kabupaten. Tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sering tumpang tindih dan tidak ada benang merahnya.
Secara umum masyarakat berpikir bahwa pelaksana proses pendidikan Indonesia adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tetapi faktanya Kemendikbud justru tidak memiliki kekuatan untuk menerapkan program-progam pendidikan karena tidak memiliki sekolah, guru, dan peserta didik.
Karena ada otonomi daerah, sekolah, guru, dan peserta didik ada di bawah kendali pemerintah daerah, SD dan SMP di bawah pemerintah kota/kabupaten, serta SMA dan SMK di bawah pemerintah provinsi.
Hal yang menarik adalah, walaupun secara undang-undang pendidikan dasar dan menengah itu di bawah kendali pemerintah daerah, sebagian besar sekolah, guru, dan peserta didik ini justru ada di bawah kendali pemerintah pusat yaitu di Kementerian Agama (Kemenag) untuk sekolah-sekolah madrasah.
Masyarakat Indonesia bisa melihat koordinasi antara Kemendikbud dan Kemenag kurang kondusif di kasus Full Day School tahun lalu, juga ihwal teknis lain yang tidak terungkap ke publik.
Koordinasi antara pemerintah daerah dan Kemendikbud pun tidak kondusif. Pemerintah daerah lebih banyak berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk segala urusan termasuk pendidikan. Beberapa permasalahan dasar yang muncul akibat tidak ada cetak biru pendidikan Indonesia.
Pertama, angka partisipasi sekolah Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai saat ini angka partisipasi sekolah (APS) Indonesia pada 2017 adalah 99.14% untuk SD, 95,08% untuk SMP, 71,42% untuk SMA/K, dan 24,77% untuk perguruan tinggi.