"Mamanya menceritakan Novel Genduk, Laut Bercerita dan karya-karya Pram, hingga hari ini Bernadette mengenal manusia romantis bernama Sapardi"
Setiap generasi selalu menyuguhkan keunikan dan ciri khas yang berbeda. Baik secara pemikiran, Â tindakan dan karya-karyanya. Namun apapun karya siswa, sangat layak untuk kita khususnya para pendidik wajib untuk mengapresiasi sebaik mungkin.Â
Sebab dengan demikian merupakan Sebuah langkah awal untuk melahirkan generasi-generasi tangguh, percaya diri dan kaya akan karya-karyanya. (sejalan dengan generasi emas di tahun 2045)
Sebagai penulis pengantar pada karya visualisasi puisi dari Bernadette Adinia, sepintas membuat beberapa orang (mungkin) akan mengkerutkan kening dan menyatukan alisnya (kok bisa ya? Â anak SMP sudah mengenal puisi Sapardi Djoko Damono yang bahkan sekelas mahasiswa semester I terkadang belum tentu mengenal apalagi sampai paham).
Usut punya usut (kepo jadinya, Kepo boleh ghibah jangan...) ternyata perkembangan belajarnya dipengaruhi oleh mamanya yang sangat menggilai sastra dan dan papanya yang menggilai seni.
Setelah melalui percakapan beberapa hari lalu yang disampaikan oleh mamanya langsung, ternyata Bernadette sudah pernah membaca karya penyair dan penulis ternama seperti Laut Bercerita novel karya Leila S. Chudori, Genduk karya Sundari Mardjuki, dan yang paling membuat saya kaget ketika Bernadette mencoba memahami karya-karya Pramoedya Ananta Toer (siapa yang tidak mengenal penulis gila bernama pram dengan karya novel tetraloginya).
Salah satu novel yang ia baca adalah Gadis Pantai. (anak umur 14 tahun membaca novel yang menggambarkan mengenai situasi feodalisme di daerah Jawa). Hingga sampai menginjak usia 14 tahun ia masih tetap membudayakan budaya membaca yang dibimbing dan ditemani langsung oleh mamanya yang bekerja sebagai dokter.
Saya sontak terkejut akan buku-bukunya yang ia baca (tidak salah, namun saya rasa agak  berat buku tersebut untuknya jika dibaca tanpa kedewasaan dalam memaknai dan akan berbahaya jika tanpa pendampingan.Â
Sebab ilmu juga butuh kedewasaan dalam membawanya). Tetapi, Â ada budaya yang dibangun dalam keluarganya, semenjak Ia kanak-kanak.Â
Ia sudah mengenal buku-buku bacaan kakeknya, dan bahkan ada budaya membaca buku secara bergantian yang melibatkan kakek, mamanya dan Bernadette. Hingga puncaknya dengan mendiskusikan bacaan tersebut untuk menghikmahi hasil dari bacaan buku yang mereka baca secara bergantian.
Adette sebenarnya adalah siswi yang sebelumnya agak sedikit minder dan kurang percaya diri akan kemampuannya,  namun setelah ia beranjak masuk sekolah SMP tepatnyadi  sekolah Jembatan Budaya,  ia mulai mau terlibat aktif dan menujukkan pilihan bakat-bakatnya.Â
Setelah Laut Bercerita, Genduk, Â Gadis Pantai dan beberapa karya yang sudah ia baca. Hari ini dia juga mengenal karya mendiang Sapardi Djoko Damono, Â penulis dan sastrawan kesohor yang pernah dimiliki bangsa ini.
Kita mengenal karya-karya mendiang Sapardi seperti puisi Hujan Bulan Juni, Aku ingin, pada suatu hari nanti dan lain-lain. Yang hampir beberapa puisi juga dijadikan novel. Â Dan berikut visualisasi puisi karya Bernadette tentang puisi Sapardi Djoko Damono "Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996"
Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996 (Karya: Sapardi Djoko Damono)
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Ia bukan mahasiswaku.Â
Dalam kelas mungkin saja ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat, atau diam saja kalau ditanya, atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja setiap ucapan gurunya.Â
Atau malah terlalu suka membaca sehingga semua guru jadi asing baginya. Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati; begitu berita yang ada di koran pagi ini entah kenapa aku mencintainya karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal.Â
Siapa namanya, mungkin disebut di koran, tapi aku tak ingat lagi, dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah mati hari itu--dan ada saja yang jadi ribut. Di negeri orang mati, mungkin ia sempat merasa was-was akan nasib kita yang telah meributkan mahasiswa mati.
Silahkan interprestasikan sendiri untuk puisi tersebut, sebab saya ingat pesan mendiang saat diwawancarai mbak Najwa Shihab (mbak Nana). Â
"Puisi yang bagus, Â adalah puisi yang mampu ditafsirkan banyak orang. Â Semakin banyak inteprestasi tentang puisi maka puisi itu akan hidup. Kalau puisi hanya dimaknai sekali, ya gak akan hidup puisi tersebut" ujar mendiang Eyang Sapardi Djoko Damono.Â
Bio Visualitator:
Saat ini adalah pelajar SMP Jembatan Budaya. Menyukai  seni tari, seni lukis,puisi dan novel sastra.
Redaksi: Mr. A/merawatingat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H