Mohon tunggu...
Indra Andika Saputra
Indra Andika Saputra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang warga biasa yang tinggal di kota Jambi, Provinsi Jambi. Lulus dari IAIN Jambi dan sedang berusaha untuk mendapatkan beasiswa S2. Alamat blog pribadi indraandika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa mereka Yah… Bu…

21 Januari 2014   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya gelap menyongsong tanpa kompromi. Menyelimuti seluruh kehidupan kota hingga ke sudut-sudutnya. Lampu-lampu jalanan mulai memancarkan cahaya kekuning-kuningan, menyibak cahaya kegelapan malam. Angin lembab berhembus semilir, semakin terasa menusuk tulang karena gumpalan awan mendung menggantung di atas sana. Kendaraan-kendaraan melesat cepat laksana kijang dalam kejaran harimau yang kelaparan.

Di perempatan jalan ini, aku berada di barisan terdepan. Menunggu lampu merah ini berubah warna menjadi hijau. Di tengah penantian, tiba-tiba dari sisi kananku, muncul dua sosok bertubuh kecil kerempeng. Satu berambut sebahu berwarna hitam kemerah-merahan, yang satunya lagi berjilbab lusuh berwarna kecoklat-coklatan. Usia mereka kira-kira baru tujuh atau delapan tahun. Dandanan dua anak kecil ini sama persis, berpakaian lusuh, kotor, dan wajah mereka memancarkan kelelahan. Namun kelelahan itu tampak tertutupi oleh semangat mereka dalam berkoar-koar menawarkan setumpuk kertas di tangan mereka, koran. Koran yang biasanya identik dengan julukan harian pagi berubah menjadi harian malam di tangan mereka.

Mereka menawarkan koran tersebut padaku. Aku hanya menggeleng kepala. Namun mereka tetap tidak beranjak dari hadapanku. Mereka mengiba-iba agar aku mau membelinya. Tapi aku tetap menggelengkan kepala. Jauh di dalam raga, hatiku terenyuh menyaksikan dua bocah kecil ini. Mereka mungkin seumuran dengan adikku yang masih duduk di kelas 4 SD. Tidak terbayang bagaimana rasanya jika adikku bernasib sama seperti mereka.

Mereka akhirnya berlalu dari sisiku. Ku pandangi mereka lekat-lekat melalui pantulan kaca spion motor. Mereka beranjak dari satu pengendara ke pengendara lain, tapi tetap saja tidak ada yang membeli. Membaca koran di malam hari memang belum membudaya disini. Berita-berita di koran sudah terlanjur dianggap basi untuk dibaca pada malam hari. Mereka terus begitu hingga hilang di telan kerumunan kendaraan yang meraung-raung.

Sesaat kemudian lampu hijau menyala. Seperti sudah menjadi kebiasaan para pengendara disini, saat lampu berubah warna menjadi hijau, hal pertama yang mereka lakukan adalah menekan klakson sekeras-keras dan selama-lamanya, bukan menginjak pedal gas ataupun menariknya. Suara bising berseliweran dimana-mana. Aku pun terburu-buru menarik gas, beranjak pergi dari kebisingan ini.

Stasiun pengisian bahan bakar menjadi persinggahan pertama sebelum menuju kerumah. Lagi-lagi, di tengah antrian aku melihat sesosok anak kecil berjalan terseok-seok sambil membawa kaleng usang. Ia mendekati satu pengendara ke pengendara lainnya, mulai dari barisan terdepan hingga kebelakang. Beberapa orang tersentuh hatinya dengan memberikan lembaran-lembaran rupiah. Hingga ia tiba di hadapanku. Terlihat jelas bagaimana lusuhnya pakaian yang ia kenakan. Baju itu tidak jelas lagi apakah berwarna putih atau abu-abu. Begitu juga dengan celana pendek yang ia kenakan. Robekan terlihat di beberapa bagian. Rambutnya mengurai mengubau tidak beraturan, sorot matanya terlihat sayu kemerah-merahan. Rasa lelah tergambar jelas di muka tersebut.

Tanganku ingin menarik beberapa lembar rupiah dari saku celana untuk diberikan padanya, tapi cepat-cepat niat itu aku hilangkan. Ia berdiri tepat di sampingku sambil merintih demi selembar uang seribuan saja. Aku tetap tidak bergeming. Ia kembali merintih demi selembar uang seribuan saja, aku menggeleng. Hingga mataku bertemu dengan matanya.

Tergambar di bola matanya yang jernih seorang anak perempuan kecil yang sedang asyik bermain bersama kedua orang tuanya. Makan malam bersama, menonton televisi bersama, tertawa ceria bersama, hingga akhirnya perempuan kecil itu tidur terlelap di atas kasurnya yang hangat disertai iringan dongeng tentang putri salju dari suara ayahnya yang lembut.

Potret yang tergambar dari pancaran bola mata jernih itu mungkin adalah kepingan-kepingan mimpi yang berusaha ia satukan dalam imajinasinya. Walau kini dalam kenyataan ia masihlah seorang perempuan kecil yang sedang bermain bersama kelunya angin malam, menonton kendaraan yang lalu lalang, dan tidur di atas kasur yang tipis.

Ayah… Ibu… Kenapa engkau lahirkan anak-anak perempuan cantik ini jika mereka hanya akan engkau suruh untuk bekerja…? Aku tahu mungkin kalian tidak punya pilihan lain selain bekerja keras di tengah himpitan ekonomi bangsa kita yang kian meradang, tapi kenapa tidak tulang kalian saja yang kalian banting sekeras-kerasnya? Tidak ibakah kalian menghisap peluh anak kalian sendiri..

Aku segera beranjak dari SPBU ini. Di sepanjang perjalanan, ingatanku kembali tertuju pada dua anak kecil penjaja koran di perempatan jalan serta seorang anak perempuan kecil yang meminta-minta tadi. “Dik, maafkan kakak. Tidaklah kakak tega untuk tidak membeli koran kalian. Tidaklah hati kakak membeku untuk tidak memberimu uang. Tapi sungguh, kakak tidak ingin kalian lebih lama berdiri disana. Karena kakak yakin, semakin banyak uang yang kalian dapatkan dari tempat tersebut, semakin sering orang tua kalian menyuruh kalian bekerja disana. Semoga mereka segera di lapangkan rezekinya sehingga berakhir pula penderitaanmu,” batinku menjerit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun