Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa-kota, dan Kita Tak Pernah Sama

20 September 2022   05:35 Diperbarui: 20 September 2022   06:05 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang cukup menyenangkan di Yogyakarta. Ada temu wicara sastra, sebagai salah satu bagian dari Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022. 

Bertempat di danau UGM, beberapa penulis yang namanya sudah malang-melintang di dunia sastra menjadi pembicara. Sunlie Thomas Alexander, Katrin Bandell, Mahfud Ikhwan dan Ramayda Akmal. Saya sengaja datang karena topik perbincangan menarik. Melintasi batas kawasan dan Di persimpangan rural dan urban.

Dalam dua sore, perbincangan tentang eksplorasi sastra itu menarik. Bagaimana sebuah karya sastra diramu dan menembus batas-batas wilayah geografi, administrasi serta etnis. 

Eksperimentasi kepenulisan dengan menukil sajian etnis dan peristiwa sebuah wilayah membawa keperajinan sastra nampak dinamis. Karya sastra  tak hanya dipandang sebagai sajian rekam sosial, tetapi juga merupakan riset ketat dengan beragam komparasi data.  Keperajinan ini praktis menambah jam kerja penulis dengan membaca banyak literatur supaya tidak meleset akurasi datanya. Riset tak berhenti pada buku-buku data, tetapi juga membaca keadaan lewat datang langsung ke wilayah yang  sedang ingin dibuat tema kepenulisan. Metode in-situ. Hal yang sudah lama dilakukan penulis seperti Koo Ping Hoo atau SH. Mintardja.

Lebih lanjut tak hanya wilayah geografis, terkadang sebagai penulis juga harus mempelajari latar waktu. Menjangkau kembali alam dalam batas zaman ketika fiksi itu ingin ditulis. Kajian pos-kolonial misalnya, jadi bacaan untuk membaca gerak jaman serta efek-efek yang terjadi setelah kolonialisme pergi dari Nusantara. 

Rekam latar jaman ini akan memberikan sentuhan nuansa dari lakon yang ingin dituliskan. 

Dok. Sigit Pratama, 2022
Dok. Sigit Pratama, 2022

Sore kedua saya kembali ke wicara sastra. Perbincangan tentang desa-kota mengunci pandangan saya terhadap pembicara. 

Dialektika sastra yang kerap menukil kejadian di desa, dan meromantisasinya ketika kita sedang bermigrasi ke kota lain kerap terjadi. "Jarak" ini kadang diperlukan untuk memunculkan dinamika, meskipun itu hanyalah usaha pendekatan subjektif dari ingatan penulis terhadap desa dan idealisasinya tentang desa. 

Dunia urban adalah dunia yang lain, mereka yang pernah bersentuhan dengannya seperti tiada pernah kembali lagi ke desa. 

Muncul sebuah rasa terasing ketika bertemu kembali dengan desa yang kadang berjalan dengan ritme yang sangat lambat, serta rasa rindu yang mengekalkan rumah makan, resto, atau hotel-hotel bernuansa desa sebagai saluran sesaat ketika desa itu benar-benar tidak bisa digapai lagi. 

Sebagai orang yang sering berpindah dari kota satu ke kota lain bersamaan dengan harus ke desa-desa yang pelosok perasaan yang digambarkan pembicara tersebut nampak benar adanya. Desa mungkin hanyalah tempat lahir, seseorang yang kemudian hidup di kota dengan segala keriuhannya nyaris tiada akan pernah kembali ke desa. Persimpangan itu nyata adanya.

Orang di desa pun demikian. Kebanyakan mereka yang milih 'urip ayem' tak pernah tergiur ingin ke kota, pindah wilayah atau negara. Mereka tinggal saja sederhana, dengan penghasilan kecil, kadang akses ke rumah sakit jauh dengan jalanan yang belum bagus, tetapi mereka betah. Segala yang ada di media sosial, politik macam apalah itu tak menjadi hal penting. Kontestasi politik yang panas justru biasa muncul dalam pemilihan kepala desa. Itupun kebanyakan hanya mengikuti arus. Hidup di desa juga tak gampang. Geliat komunalitas yang erat, dan memudahkan jika sedang ada kematian kerap harus berbanding terbalik jika ada kabar buruk menimpa satu keluarga. Tapi tetap saja, banyak orang berkeinginan mati di desa, dikuburkan bersama sanak-keluarganya. 

Kita tak pernah lagi sama setelah berjejak di kota, tinggal dan mengais hidup darinya. Adapula yang dulunya karena keterpaksaan tak bisa lagi pulang ke kampung dan bergaul dengan rutinitas khas desa akhirnya kembali ke kota. Berhimpit-himpitan tidur di kamar kos, asap kendara, macet serta semua yang serba cepat. 

Ulang-alik desa kota nampaknya sama saja. Seperti sebuah pilihan dengan banyak konsekuensi, meskipun internet dan pembangunan kini semakin mempererat jarak keduanya. Dari desa dan kota muncul pula gelagat manusia yang sesungguhnya. Marah, benci, cinta, nista, bual, dan macam sebagainya terjalin dalam semua lapisan masyarakat. Rerasan atau gosip itu hanyalah istilah demi memuaskan hasrat sosial manusia. 

Lantas kenapa orang yang tinggal di kota, atau penulis mulai menuliskan hal-hal yang di masa lalu dekat dengannya?

Merekam ingat mungkin jadi jawaban, atau sekedar luapan rindu pada hal-hal yang kini menjadi makin tak tergapai. Kejadian ini semacam seorang Mpu menuliskan babad  tapi dilakukan manusia modern. Memahatkan kejadian yang dekat dalam fiksi. 

Lamun semakin panjang, persimpangan demi persimpangan selalu -menguji manusia pada hal yang mana ia berpihak. 

Rural-urban seperti tiada akhir untuk disemai. Jika itu soal cinta, mungkin remaja jaman kiwari akan menamainya love-hate relationship. Yang tetap akhirnya manusia itu sendiri, perjalanan demi perjalanan akan dicapai sebelum kematian. 

Fiksi-fiksi dibuat, sastra ditebar supaya dibaca dan kemudian diingat. Dan kita, tidak pernah sama setiap waktunya. Kedatangan kita sebagai mahkluk urban akan membawa kita sama sekali menjadi lain, dan jadi liyan jika kembali ke desa.

Surakarta, 20 September 2022.

#agustaisme

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun