Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bill Gates dan Candu Rerasan Kita

10 Mei 2021   07:51 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:55 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunalitas yang sangat kuat ini menimbulkan efek bahwa segala yang terjadi didalam komunal individu wajib tahu, dan merasa bahwa komunal itu adalah bagian dari individu juga. Yang kemudian menghasilkan sikap individu ingin mengurusi apa yang terjadi di dalam kawanan.

Kecenderungan manusia berkawan -- karena mahkluk sosial -- ini kemudian dijadikan tradisi turun-temurun, dalam persoalan etis kadang individu juga dinistakan jika tidak loyal terhadap kawanan terdekatnya seperti keluarga, suku, agama, organisasi sampai perusahaan dan partai politik.

Ada rayuan gombal juga kan di dunia kerja yang kadang bicara bahwa perusahaan ini adalah keluarga harus dirawat bersama dan seterusnya. Lihat mitos-mitos ini dipelihara, didoktrinkan lalu diulangi lagi oleh mereka yang dianggap pemimpin kawanan, atau yang punya kuasa dalam menentukan arah gerak dari kawanan. Padahal jika mau dipikir lagi secara logis perusahaan dan komunalitas yang terjadi biologis maupun ideologis tentu saja berbeda. Manusia bekerja di perusahaan karena konsesi, seperti barter skil yang ditukar dengan uang, tapi hal semacam ini terus dibiarkan.

Ada lagi misalnya didalam sebuah gerakan yang terafiliasi karena ideologi dan politik tertentu, sikap untuk loyal ini juga kadang berlebihan, sampai tidak ada ruang kritik bagi mereka yang ada di puncak, dan orang yang dipuncak ini persis seperti yang dibicarakan Haidht selalu merasa ingin mengurusi kawanan lain yang ada dalam kendalinya secara berlebihan, dan mengabaikan hak-hak individu.

Laris manisnya rerasan terhadap apa yang terjadi di dunia luar kerapkali juga bermotif luapan emosi karena sesuatu hal. Dalam masyarakat yang butuh pelarian dan lacuran dari segala masalah yang menempa hidupnya, salah satu bentuk eskapis dari keadaan adalah rerasan. Ada banyak orang yang kurang kerjaan, sedang diterpa konflik keluarga, atau konflik dalam pertemanan membuat kegelisahan dan kemarau panjang didalam batin mereka. Mencibir orang lain ini justru menjadi alat pelarian dan dalih untuk menutupi kekurangan diri.

Alih-alih mencoba melihat kejadian secara lebih akurat, jatuhnya hanya pada kemarahan yang tanpa tujuan. Sikap-sikap yang tidak perlu kemudian terjadi. seperti minggu lalu ada kejadian sate beracun yang muncul juga dari penatnya hidup, kemudian muncul resiko atas tindakan hingga membahayakan nyawa orang lain.

Perceraian memang bukan hal yang langka, disekeliling kita juga bisa merekam betapa banyak sekali kejadian ini. Dalam kacamata kejadian, kasus Bill Gates tentu biasa saja dan yang menjadi hal menarik adalah orang sekaya dia bisa bercerai. Ini kan ada persoalan anggapan pembaca medsos yang mengira bahwa orang kaya (karena segala kebutuhan materialnya tercukupi) pasti hidup bahagia, sejahtera jauh dari idiom cerai. Sebaliknya, mereka pernah mengalami betapa kekurangan uang bahkan jatuh miskin kemudian menjadi pemantik api konflik antar keluarga. Data statistik kita mencatat bahwa angka perceraian di Indonesia peringkat pertamanya cek-cok, yang kedua adalah persoalan ekonomi. Dari faktor mayor inilah kasus Gates kemudian jadi seksi, karena peristiwanya lain dengan kacamata standar masyarakat kita.

Dorongan komunalitas, dorongan individu yang ingin eksis dalam komunal mendaur segala kecenderungan untuk mengurusi hal-hal yang jauh dari jangkauan mereka. Lagi-lagi karena ini biasanya tindakan eskapis, ada kenikmatan dari rerasan tersebut. Dari komunal biologis sampai tataran negara gosip menjadi komoditas yang juga langgeng di media massa,

Apakah kalian juga sama?

Surakarta, 10 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun