2020, tahun ini di seluruh belahan dunia mengalami krisis besar yang diakibatkan oleh sebuah virus. Segala sektor terkena imbas dari wabah ini, termasuk dunia pendidikan. Ketika semua geliat sosial harus terhenti karena pandemi, tantangan besar dialami sekolah.Â
Pembatasan demi pembatasan terhadap pertemuan terjadi, sekolah diliburkan, hingga tahun ajaran baru menjadi kalang kabut karena harus daring, geliat ketidaksiapan juga terjadi di perguruan tinggi, pengajar, dan guru-guru yang sudah ketinggalan jaman karena teknologi melaju pesat. Berbagai masalah kemudian terjadi.
Masalah-masalah klasik seperti ketidaksiapan sarana dan prasana pendidikan di pelosok-pelosok, mulai gawai, internet sampai peningkatan sumberdaya manusia terjadi ketika wabah ini terjadi.Â
Tidak semua sekolah siap, dan bagi wali murid banyak sekali yang mengeluhkan dengan adanya metode baru pembelajaran daring, ini.Â
Selain semua kurikulum diajarkan tanpa tatap menjadi lebih rumit, ketimpangan ekonomi, juga stagnasi pendapatan di berbagai kalangan tidak mungkin mengimbangi perubahan pendidikan di masa pandemi ini, yang kita tahu justru menjadi semakin mahal.
Aksi-aksi protes di gelar mahasiswa di berbagai kampus untuk menurunkan UKT, mahalnya biaya perkuliahan daring menjadi tanda tanya besar, kenapa kampus masih terus mengeruk uang mahasiswa untuk dibayarkan.
Sementara mereka tidak menikmati hak-hak mereka karena pembelajaran berlangsung di rumah, belum lagi soal membayar bea kos, dan tentu kuota internet untuk mengikuti berbagai tele-conference. Sudah UKT tidak turun, biaya kuliah membengkak jadi mahal karena listrik dan kuota internet.
Ironisnya, kejutan perubahan pendidikan ini justru menjadi bias, karena pertentangan-pertentangan akan masalah yang terjadi tidak menimbulkan jawaban, justru kita malah sibuk membahas online-offline? hanya berputar-putar disitu saja, kadang malah menambah kerumitan baru.Â
Lalu bagaimana dengan masalah-masalah yang jadi inti permasalahan pendidikan, seperti Sekolah kini cuma jadi komoditas?Â
Sekolah formal semakin lama seperti Industri jalan tol, siapapun yang punya biaya/kapital akan punya jalan mulus untuk mendapatkan gelar, dengan segala privilege yang didapatkan, bagi mereka yang miskin, jangan berharap apa-apa, karena kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak dicapai selama ini.
Dan nyaris mengabaikan amat UUD 1945 sebagai landasan pacu arah bernegara. bahkan Sekolah kini menjauhkan anak-anak dari sekelilingnya, mereka ibarat bayi tabung yang tidak pernah menjejaki tanah dan air dimana mereka tinggal. Mereka menjadi asing ketika pulang ke rumah, sulit bergaul dengan sosial, dan lebih bermental elit.Â