Sesampainya di kota beberapa orang terkena shock-culture dan membawa ini ketika pulang di desa-desa. Perubahan kemudian terjadi di desa, gaya hidup perkotaan yang cenderung instan dan praktis bertemu dengan budaya desa yang sangat menjaga entitas kedesaanya, desa yang cenderung tertutup bersentuhan dengan budaya metropolit membuat bentuknya sendiri dalam bingkai ala kadarnya.
Jika kemudian kacamata ditarik lagi lebih jauh soal hubungan manusia ini memang tidak memilih lahir dari keluarga dan garis hidup seperti apa. Tetapi personalitas dan masa kecil anak membentuk watak, karakter serta pilihan-pilihan hidup tentang bayi yang baru lahir.
Belum lagi ketika sang anak tumbuh besar terjadi perbedaan sumberdaya secara signifikan. Siapa orang tua mereka setiap sumberdaya yang dimiliki, relasi yang dibangun kemudian membentuk sebuah standar baru dalam sebuah tatanan masyarakat.
Dalam beberapa amatan yang pernah saya lakukan, kawan-kawanku yang menjadi pengamen, tukang sapu, pengemis, dan apa saja yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak banyak mereka yang bisa keluar dari jeratan itu, lingkaran itu, bukan karena mereka tak mau tapi keadaan mengharuskan seperti itu.
Keterbatasan akses, privilege, sumberdaya kapital, relasi dan informasi menutup segala kemungkinan mereka naik ke strata diatasnya. Belum lagi mental inferior manusianya, betapa manusia selalu punya watak yang terbentuk karena personalitas, karena bawaan lahirnya.
Kekacauan dan kerusakan dari sebuah keluarga sangat mempengaruhi tensi, kondisi psikologis anak. Belum lagi soal standar-standar atas beragam pencapaian yang diinginkan, akhirnya membuat anak menjadi orang lain, pandangan terhadap dirinya sendiri kabur, dan menimbulkan rentetan efek samping lainnya, puncaknya ya tadi ada miskonsepsi informasi tentang kedirian, watak terbentuk lalu membangun jaring relasi yang tidak diinginkan pula, hingga akhirnya tanpa sadar melanjutnkan pola-pola relasi yang sudah terbentuk sebelumnya.
Lalu stratum-stratum terjadi, dan tidak bisa dipungkiri geliat relasi pertemanan ini membentuk solidaritas atau kawanan dalam mengejar idealitas bersama. Baik secara kebudayaan, dogma agama, kepentingan yang sama, atau yang paling dekat karena ada relasi biologis.
Hubungan genetik merupakan stratum yang paling kuat. Banyak sekali pelanggengan terjadi di hubungan ini, kekuasaan, hegemoni politik, industri dan ekonomi, jaringan akademisi, literasi, musik dan seni semua kekuatan terjalin dalam beragam ruang strata yang mereka berjejaring satu dengan yang lain.
Dinamika ini memang wajar ketika dulu di jaman kerajaan, dominasi kekuasaan tersentral pada keluarga kerajaan, tetapi jika sekarang jaman melaju pada demokrasi, kepada kepemimpinan elektoral akhirnya jalinan kekuasaan ekonomi yang mengendalikan kekuasaan. Dan lagi-lagi relasi kekuatan ekonomi terkumpul/dikumpulkan oleh beberapa pihak yang berusaha menjaga dan melanggengkan stratum mereka.
Alternatif pemikirannya, stratum terjadi karena pola pembiasaan terhadap seorang anak dibentuk oleh keseharian orang tua, akses, privilege serta relasi kuasa yang terjadi di kalangan para orang tua. Banyak dari akademisi kita sekarang juga merupakan keturunan ampuh dari orang-orang yang mencecap kenikmatan intelektualitas di era awal kemerdekaan.
Jika ditarik mundur lagi semua tokoh pergerakan kita adalah orang-orang yang cukup punya akses ke banyak sektor, anak bangsawan, ningrat, dan tentu relatif kaya. Ideologi-ideologi nantinya yang mengubah paradigma manusia. Ketika pendidikan di bebaskan ke semua pihak, ternyata memang tidak semua anak cukup mampu untuk menjadi akademisi, apalagi memasuki jaringan-jaringan akademisi ampuh yang mampu mengurai banyak sisi ilmu pengetahuan, juga tentang penemuan -- penemuan.