Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Butterfly-effect Pandemi, Silang-sengkarut Logika

21 Mei 2020   04:14 Diperbarui: 21 Mei 2020   09:39 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelonggaran PSBB terjadi dimana-mana, untuk menekan kematian industri transportasi dan geliat ekonomi selama puasa ramadhan, pemerintah melonggarkan pembatasan-pembatasan. 

Menjelang Idul Fitri ketakutan akan ledakan itu kian menjadi. Hashtag "terserah" dan "semau-maumu" menghiasi dinding media sosial. Seperti ketuban pecah geliat polarisasi kemudian terjadi.

Anak-anak muda yang sudah dua bulan lebih mendekam di rumah seperti mendapatkan tiupan angin segar. Warung, kedai, dan resto kembali ramai dengan ajakan berbuka puasa bersama. 

Jalanan menjadi riuh menawarkan banyak sensasi atas letupan keadaan, berpasang-pasang motor muda-mudi berlalu lalang. Sementara itu pasar juga tak kalah ramainya, ibu-ibu berbondong-bondong setiap sore tanpa pembatasan, tanpa jarak, memenuhi seluruh pasar bak semut.

Arus ini tidak mungkin terjadi begitu saja, segala kondisi sudah dipilih, diputuskan responnya dan pasti berakibat sedemikian rupa. Mulai dari tidak seriusnya pemerintah menanggapi isu, tidak dijaminnya kebutuhan sosial, PSBB kemudian pelonggaran. 

Mulai dari kampanye cuci tangan, masker sampai penyemprotan disinfektan di jalan raya. Yang terakhir ini munculnya isu "Herd Immunity" yang diharapkan akan memutus rantai penularan virus dengan memperbanyak yang terjangkit.

Namun berapa yang harus jadi tumbal, berapa pula yang akan memiliki antibodi? Sedangkan sampai hari ini belum ada rilis dari WHO soal adanya kemungkinan imunitas seseorang yang terjangkit.

Geliat bandara berjubel menanti tiket pesawat, nyaris tak bersekat. Petugas-petugas yang meronda kampung, petugas negara yang berada di titik pantau operasi terhadap pemudik luar pulau juga lengah tergoda oleh nikmatnya tak berjarak. 

Menawarkan kontra-balik dari masyarakat yang diatur. Masalah utamanya kan soal ing ngarso sung tuladha, bagaimana otoritas negara sampai otoritarian sipil desa yang sudah terbentuk harus menjadi ujung tombak memberi contoh antisipasi terhadap penularan wabah. Namun yang terjadi sebaliknya.

Soal data kita pun kisruh siapa lagi yang akan menjadi rujukan valid, selalu terjadi perbedaaan data, berapa angka yang mati, berapa angka yang tersebar, berapa yang sudah di rapid test, berapa yang sudah terjangkit gelombang kedua virus, yang terkena, dan kena lagi.

Semua elemen lalai, setiap wilayah selalu saja ada oknum-oknum yang menjadi abai, sementara sisanya terus menghakimi banyak persoalan menurut pendapat subjektifnya. 

Lihat betapa kacaunya akhir-akhir ini. Tidak ada kesatuan dari pusat sampai ke desa, meskipun semuanya seolah berpartisipasi namun berjalan menurut kehendak pemangku wilayah masing-masing, belum lagi jika kita bicara soal kepentingan sepihak, memanfaatkan kesempatan selama wabah. 

Ya, kita kini menunjukkan asli kita, bangsa yang sedari dulu memang tidak pernah bersatu. Apalagi kini diuji untuk tetap bertahan.

Keputusan yang salah dan respon yang blunder mengakibatkan kekacauan di lintas sektor masyarakat. Mereka yang bertahan tentu punya kadar emosional masing-masing, disaat pekerjaan mereka hilang, bertahan dengan sisa uang, harus memenuhi banyak hal sementara sistem otoritas juga susah dicerna. Absurditas terjadi.

Efek-efeknya sekarang terjadi begitu saja bukan karena pemerintah tidak becus mengurusi negara, tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga jarak, dan meminimalisir kegiatan juga sama parahnya. Tenaga kesehatan kini yang menjadi tumbal dari semuanya, ketika angka terjangkit semakin tinggi kerja mereka berlipat dari yang berdiam dirumah sakit hingga turun ke desa-desa untuk memberi sosialisasi kepada masyarakat.

Sepanjang pertapaan ini cuman dua ketakutanku tenaga medis yang akan semau-maunya karena masyarakat dan kebijakan negara yang sama kacaunya, sisi lainnya tidak ada penjaminan hidup petani di masa krisis pangan padahal dua elemen ini adalah ujung tombak penanganan wabah.

Kita tahu presiden menyuruh menambah luasan sawah (yang tentunya di jawa soal lahan ini akan berbanding lurus dengan proyek kapital membuat beragam tender penghancuran lahan produksi seperti tol dsb). Tetapi siapakah yang menjamin kesejahteraan petani, para pahlawan di masa pandemi ini. 

Krisis pangan akan terjadi jika wabah bertahan berlarut namun tidak mungkin padi, jagung, ketela, sagu dan sayur-mayur dihasilkan dengan #dirumahsaja. 

Sementara mereka di masa ini adalah tonggak utama masyarakat tidak 'chaos', keamanan perut masyarakat berada pada keberlangsungan proses pertanian yang aman dari serangan wabah.

Petani kini setahuku di desa-desa masih tidak mendapat perhatian lebih dari otoritas desa, apalagi petugas kesehatan mereka hanya seperti robot yang didatangi manusia untuk berkeluh kesah, sementara kaum oportunis di dunia kesehatan memanfaatkan setiap kebijakan untuk mendaur keuntungan. Industri masker, hand sanitizer, tabung semprot, sampai surat bebas Covid-19 sebagai syarat mudik.

Kalau tahu akhirnya kebijakan pemerintah melonggarkan semua sisi seperti ini, mending sekalian dibebaskan sejak wabah ini ada. Pertama, buang-buang anggaran negara untuk penanganan serius wabah yang akhirnya dikontra-balik oleh negara sendiri. 

Kedua, masyarakat tidak dibikin "haus" bahkan "kaliren" sekalinya dilonggarkan seperti ini tentu respon mereka akan sangat menggebu-gebu. Tidak memicu munculnya otoritarian atas nama wabah yang kadang hanya menjadi alasan bagi beberapa oknum untuk memunculkan geliat arogansi dan budaya preman yang mereka simpan.

Sekarang konfliknya memuncak, masyarakat secara budaya sudah tidak mungkin lagi mengerem laju kebudayaan berbasis agama seperti puasa dan Idul Fitri. Kita bisa lihat budaya 'ngabuburit', silaturahmi, sungkem, kirim parcel, sampai benar-benar halal-bihalal sekampung meskipun sudah dilarang tapi siapa yang menjamin tidak akan bocor. 

Kebudayaan sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, beberapa pihak menganggap ini sebagai tradisi yang pantang dihentikan. Sementara itu ketika bandara dibebaskan, McD berjubel manusia mengekspresikan 'identitas dan kenikmatan'-nya, kini masjid-masjid masih dilarang untuk beribadah. Sementara pasar, angkringan dan trotoar ramai. Polaritas terjadi.

Masyarakat yang terbiasa untuk diadu sama lain, terbiasa diberi ransum cacat logika biner A atau B, setidaknya selama pilpres 2014 gejala ini menggeliat sampai ke desa-desa. Mereka yang sedang susah, sedang menahan banyak hal harus menyaksikan betapa ketidakadilan terjadi dimana-mana, tentu responnya akan sepihak. 

Ada kubu yang membela A ada kubu yang membela B. Misal pertentangan McD dan masjid, satunya berbasis agama satunya berbasis kenyamanan dan identitas. Konflik ini beragam bentuknya memenuhi arena negara sekarang.

Polaritas ini diperparah dengan lakunya teori konspirasi, teori cocokologi yang tentu lebih laku didalam masyarakat yang sudah terbiasa tidak disuguhi keadilan berpikir. 

Jaring konspirasi ini betul sebagai pemikiran alternatif, tetapi di masa pandemi ini nampak justru menambah keributan terutama di masyarakat yang informasinya hanya didapat dari TV dan paketan media sosial mereka. 

Teori cocoklogi punya pendukungnya, arus ini juga merupakan reaksi balik dari kejemuan mereka menunggu kejelasan sikap pemerintah. Laris di media sosial hingga menjadi bahasan di kampung-kampung, sampai ke grup whatsapp keluarga. 

Silang sengkarut informasi ini menjadi bola liar yang bisa ditarik kemana-mana. Arus ini juga hadir di awal-awal pandemi banyak kaum spiritualis meramalkan akhir wabah, obat yang digunakan untuk menyembuhkan, sampai dikaitkan ke jangka-jangka tertentu sebagai pembuktian ramalan. 

Arus ramalan ini juga laris manis bak kacang. Memang tidak serta merta orang timur percaya ramalan, namun pewarisan kebudayaan cocokologi ini juga terjadi di setiap sesi komunikasi. 

Mereka yang tidak punya data lebih untuk menjawab pertanyaan lebih memungkasi jawaban dengan teori konspirasi demi merawat fans, jamaah, kawanan supaya tetap loyal mengikuti mereka.

Keadaan ini tidak hanya berlaku pada wabah Covid-19 ini di wabah-wabah sebelumnya kaum spiritualis-magis dan konspirator ini juga punya peran untuk mengacak-acak persepsi masyarakat terhadap bukti-bukti sains yang belum terjawab. 

Meskipun semua sejarawan dan akademisi sepakat bahwa wabah hanya bisa dihentikan oleh vaksin. Tidak dengan cara apapun.

Lalu ditengah keruwetan seperti ini, masyarakat dan semua pihak yang sudah bingung kewalahan memetakan keadaan memunculkan statement. TERSERAH, SAK KAREPMU, SEMAU-MAUMU. 

Energi positif dari semua elemen masyarakat untuk bersama-sama mengantisipasi wabah berganti dengan negatifnya sikap acuh, sikap abai, penat dan jalin sosial lainnya karena tidak mampu mengatasi keadaan.

Sikap abai ini tentu akan bergerak kepada datangnya laju gelombang kedua wabah, penyebaran yang lebih luas, kematian yang lebih tinggi, dan tentu kehancuran-kehancuran setiap sektor tidak mungkin bisa tertahan.

Kuncinya tetap pada kerja sama, gotong royong, dan menjaga titik vital dari urgensi gelombang kedua wabah. Merawat petani dan mengapresiasi, mengawasi semua sektor perpanjangan tangan negara di desa-desa, dan tentunya adalah dukungan total kepada sains dan kawan-kawan kita yang hari ini berada didepan perjuangan melawan wabah.

Terus memetakan keadaan dengan kewarasan, dengan logika yang sehat, kesadaran penuh, dan terus memuasai segala bentuk keadaan untuk tidak perlu gegabah dan malah abai.

Sikap abai hanya mempercepat gelombang kedua, jika ia datang, sudah siapkah? Atau akan timbul kekacauan lebih hebat lagi.

Selamat menebar terus energi positif dan kebaikan-kebaikan.

Jangan menyerah, yok bisa yok!

Surakarta, 21 Mei 2020
Indra Agusta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun