Oleh : Indra Agusta
Wabah memang telah menemani peradaban manusia ribuan tahun lalu. Dari penyakit sampar,SARS, flu burung sampai Corona. Jika dilihat dari kacamata agak lebar, memang akhirnya menjadi hal yang biasa saja.Â
Disetiap waktu akan ada seperti itu, tanpa melupakan bahwa memang sudah ada nyawa melayang disetiap wabah. Namun apakah benar ini wabah? Atau siapa yang mengambil keuntungan dibalik ini semua?
Homo Deus karya Yoval Noah Hararri sudah menjelaskan dengan gamblang, bahwa progresi umat manusia kedepan memang tidak mengurusi soal penyakit. Karena presentasenya selalu menurun, teknologi kesehatan terbukti mampu meredam banyak kematian karena penyakit.Â
Tidak ada lagi pes yang berkembang menjadi black-death yang membunuh 200 juta penduduk eropa di abad XIV.Â
Perjuangan kita selanjutnya adalah ketika kesehatan sudah diraih, kemudian perang juga sudah tidak lagi marak seperti yang pernah dibahas Jared Diamond di Gun, Germ and Steel. Maka etape selanjutnya persis seperti yang dianalisis Harrari akhir-akhir ini manusia akan kejar-mengejar kebahagiaan.
Wabah adiksi untuk terus berbahagia
Apapun bentuknya meskipun usia rata-rata manusia di dunia tak sepanjang dulu -sangat mungkin karena pola makan dan gaya hidup, juga kualitas lingkungan yang juga terus menurun- manusia modern mengejar apapun yang membahagiakan mereka.Â
Bisa lewat makan, mabuk, travelling, stay-cation, me time, musik, bercakap, bertatap, atau bentuk lain seperti ikut pengajian, kebaktian kebangunan rohani, sampai kecanduan komik dan manga. Semua manusia punya standarnya masing-masing.
Yang perlu dipikirkan adalah ketika tidak ada perang dan wabah siapa yang menjadi pembunuh utama manusia? Apakah perubahan musim? Atau stress?. Sisanya mau tidak mau kita akan dihadapkan pada overpopulasi.Â
Sebuah kondisi dimana manusia dimuka bumi ini pada wilayah tertentu kepadatannya menjadi bertambah. Dan didalam overpopulasi akan semakin bertambah pula persaingan, konflik, peluang dan tentu adalah perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan itu sendiri.
Yang saya amati hari-hari ini bahwa semakin padatnya penduduk, terus menerus menurunkan kebahagiaan seseorang. Jakarta mungkin etalase yang tepat, dimana kita bisa mendengar umpatan didalam KRL, berdesakan masuk bus-way, atau ramainya anak-anak bolos dan nongkrong di jembatan penyebrangan dengan segala yang ingin dicapainya.Â