Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Uria, Jalan Kontestasi dan Lacur Kekuasaan

15 Mei 2019   17:06 Diperbarui: 15 Mei 2019   17:36 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalma berjalan, didepan urat nadinya ada ribuan sistem terbentuk, berbentuk, berkolaborasi dengan berbagai sistem lainnya. sebagian bertabrakan dengan keinginan, sebagian mati. lalu sebagian memenangkan pertarungan-pertarungan semu didalam diri manusia. Yang hasil pendarannya adalah keputusan akal, tindakan juga aksi-aksi yang berkolaborasi dengan tindakan dari akal manusia lain. 

Borok-borok demokrasi terbongkar satu demi satu, apa yang akan terjadi pada negeri jalma masih belum memperkirakan. sebulan lalu anak muda tumpah ruah dijalanan, sebagian orang tua mengelu-elukan bendera partai. Saya seperti teringat Yesus yang disambut dengan pohon palem sewaktu kembali ke Yerusalem. Mereka begitu bersemangat, energik dan galak.

Lantang betul teriakan-teriakan digelegarkan, suara knalpot juga tak mau kalah sama bisingnya. Lalu kata-kata pemanis dibuai supaya tertarik demikian seperti sejatinya mengiklankan sesuatu kali ini yang diiklanlan manusia dan visinya. 

Demokrasi yang sesuai akal, tentu akan menjadi persoalan klise nan serius dinegeri yang dulunya sama sekali tidak terbiasa dengan rasionalitas, karena tradisi kepemimpinan yang ada juga hanya kepemimpinan tradisional, berdasarkan tokoh atau kesepakatan-kesepatakan tertentu untuk wilayah-wilayah kecil yang bersambung dengan kesepakatan lintas wilayah. 

Sepanjang rentang waktu yang lama kita hanya berbentuk patembayat, paguyuban, perdikan-perdikan lalu kerajaan. Sebuah kenaifan jika kita terburu-buru mengaminkan bahwa demokrasi adalah yang paling ideal sementara didarah kita menyimpan DNA masa lalu, lingkungan kita masih menggunakan tradisi-tradisi masa lalu, 

Arus kontinuasi kemudian tak terbendung, yang terjadi kemudian adalah munculnya  kerajaan-kerajaan ditengah demokrasi. Kerajaan kini berubah menjadi kerajaan politik, kerajaan ekonomi juga kerajaan-kerajaan pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan. Kalau kalian penonton Game Of Thrones kalian pasti tahu bagaimana sebuah keluarga harus dipertahankan supaya tetap kekal dan bisa mendominasi secara politik disebuah wilayah. 

Azas Kekeluargaan ini muncul beriringan dengan berdirinya sebuah negara, banyak yang kemudian mendiringan keratonnya demi kelanggengan-kelanggengan kepemilikan. Selain itu kawin politik adalah suatu hal yang biasa, seperti anak-anak raja dahulu dalam mempertahankan legitimasi kekuasaan, dalam memilih bibit harus jelas trah dan alur silsilah kerajaannya, semua dibentuk serius dalam sawang-sawang kerajaan.

Selain ritual kawin-politik, tentu tak bisa kita munafikkan bahwa seks yang jadi candu itu bisa jadi senjata andalan dalam kontentasi. Seksualitas bisa jadi celah dalam politik, bisa menjadi serangan serius mengancam dan menggedor pintu lawan politik dengan wanita-wanita seksi, atau melemparkan fitnah chat mesum sebagai harga yang harus dibayar mahal dalam berbagai kontentasi, penghilangan paksa martabat, penghancuran nama baik.

Adalah Kisah usang tentang Nabi Daud yang ditutupi padahal ada dalam kitab raja-raja Israel soal seksualitas yang mengancam Nabi Besar penyanyi terkemuka tersebut. Kisah ketika Nabi Daud menjadi birahi ketika melihat istri panglima perangnya mandi, panglima tersebut bernama Uria. yan kemudian demi meniduri istri orang ini, sebagai Raja  Nabi Daud menyuruh Uria berperang dimedan paling depan supaya mati, dan istri uria bisa "diayomi" oleh Daud.  Demikian jalannya kerajaan tak melulu mulia, bahkan untuk sekelas nabi sudah diurapi oleh Allah. Apakah tak berdampak? tentu akan dibayar mahal oleh Daud dikemudian hari, kehancuran Israel pasca Sulaiman anakknya menanti diujung pagi.

Uria sebagai panglima perang tentu menganggap sebuah kehormatan karena diperintah di garda depan oleh rajanya sendiri, tanpa pernah tahu istrinya 'diingini' oleh sang raja.

Lalu kita harus berkontemplasi, bertanya kembali untuk siapa dan untuk apa perjuangan yang pernah kita lakukan demi dukungan-dukungan, atau kita yang jelas-jelas akan bertengkar sampyuh seperti Uria, sementara yang mati-matian kita dukung sibuk menikmati hasil di belakang, sibuk melacur dengan syahwat kekuasaan, meniduri proyek dan kekayaan atau berzinah dengan kepentingan individu, atau golongan.

Rasionalitas akhirnya menjadi jauh, bahkan klise ketika milenial yang punya akses teknologi untuk menjangkau beragam data-data kontestasi juga ikut-ikutnan nyinyir kelas teri di sosmed masing-masing. Banyaknya informasi yang dengan sangat mudah bisa digapai tidak mempengaruhi mereka menjadi rasional dalam memilih, ataupun sekedar menilik janji-janji dan program-program didesaku banyak yang kalah dengan amplop-amplop dini atau pagi hari.

Kenyataan ini harus dipahami ternyata konsep one man one vote itu tidak bisa diaplikasikan sebagai gerakan rasional, namun lebih kepada siapa pemegang kapital yang berani modal banyak sebagai pengisi amplop yang kemudian memenangkan peran, selanjutnya apakah program-program efektif, ternyata tidak. 

Kita masih mewarisi kebudayaan masa lalu yang menempatkan pilihan hanyalah pada tokoh tertentu, kepercayaan kita pada seorang tokoh tidak bisa dihindari, banyak pilihan-pilihan yang diberikan hanyalah karena menunggu tokoh entah tokoh politik, agamawan, tokoh kebudayaan memihak paslon tertentu baru mereka mantap memilih. Jika demikian bukankah terbalik dengan konsep diatas, demi efisiensi pemilihan bukankah alangkah baiknya kita mempercayakan pilihan pada orang-orang tua yang kita percayai saja. memangkas ongkos demokrasi.

Lalu Uria tumpas di medan laga seperti yang sudah-sudah jika ada konflik horizontal akibat kontestasi, bukan Raja yang akan menerima getahnya tapi kita yang emosional berlebihan dalam mendukung akhirnya berhadap-hadapan dan 'yang tidak tahu' gambaran lengkap dari situasi yang akan terseret, hanyut dan menjadi bual-bualan hegemoni yang memilukan.

semoga terus dijagai dalam Tuhan dan kewaspadaan..


#agustaisme

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun