Rasionalitas akhirnya menjadi jauh, bahkan klise ketika milenial yang punya akses teknologi untuk menjangkau beragam data-data kontestasi juga ikut-ikutnan nyinyir kelas teri di sosmed masing-masing. Banyaknya informasi yang dengan sangat mudah bisa digapai tidak mempengaruhi mereka menjadi rasional dalam memilih, ataupun sekedar menilik janji-janji dan program-program didesaku banyak yang kalah dengan amplop-amplop dini atau pagi hari.
Kenyataan ini harus dipahami ternyata konsep one man one vote itu tidak bisa diaplikasikan sebagai gerakan rasional, namun lebih kepada siapa pemegang kapital yang berani modal banyak sebagai pengisi amplop yang kemudian memenangkan peran, selanjutnya apakah program-program efektif, ternyata tidak.Â
Kita masih mewarisi kebudayaan masa lalu yang menempatkan pilihan hanyalah pada tokoh tertentu, kepercayaan kita pada seorang tokoh tidak bisa dihindari, banyak pilihan-pilihan yang diberikan hanyalah karena menunggu tokoh entah tokoh politik, agamawan, tokoh kebudayaan memihak paslon tertentu baru mereka mantap memilih. Jika demikian bukankah terbalik dengan konsep diatas, demi efisiensi pemilihan bukankah alangkah baiknya kita mempercayakan pilihan pada orang-orang tua yang kita percayai saja. memangkas ongkos demokrasi.
Lalu Uria tumpas di medan laga seperti yang sudah-sudah jika ada konflik horizontal akibat kontestasi, bukan Raja yang akan menerima getahnya tapi kita yang emosional berlebihan dalam mendukung akhirnya berhadap-hadapan dan 'yang tidak tahu' gambaran lengkap dari situasi yang akan terseret, hanyut dan menjadi bual-bualan hegemoni yang memilukan.
semoga terus dijagai dalam Tuhan dan kewaspadaan..
#agustaisme
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H