Mohon tunggu...
Indra Gunawan
Indra Gunawan Mohon Tunggu... -

mencari ilmu, beribadah, dan bermanfaat !!!!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Apakah Dukungan Sosial berpengaruh pada Motivasi untuk Sembuh ?

7 Januari 2016   17:27 Diperbarui: 7 Januari 2016   17:38 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Setiap manusia cendrung memiliki harapan untuk selalu sehat. Kesehatan dapat didefinisikan secara negatif sebagai ketiadaan tanda-tanda atau gejala-gejala objektif dan subjektif dari keadaan sakit, penyakit, malfungsi, atau cedera badaniah (Birren dan Zarit, 1985). Kesehatan juga dapat didefinisikan secara positif sebagai keberadaan kesejahteraan, kekuatan dalam tubuh dan pikiran, dan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung kesehatan.[1]

Namun dalam setiap kehidupan manusia tidak selalu akan merasa sehat. Adakalanya suatu ketika manusia akan mengalami rasa sakit. Rasa sakit didefinisikan sebagai pengalaman inderawi dan emosi tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial atau digambarkan berdasarkan kerusakannya.[2]

Adanya rasa sakit yang menimbulkan ketidak nyamanan pada seorang individu akan mendorong individu tersebut untuk melakukan upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit sebagai bentuk ketidaknyamanan. Maslow mengatakan bahwa suatu sifat dapat dipandang sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi beberapa syarat diantaranya ketidak hadiranya menimbulkan penyakit dan kehadiranya mencegah timbulnya penyakit.[3] Dari pandangan maslow tersebut kita dapat menjabarkan bahwa kebutuhan dasar pada manusia merupakan hal-hal yang pokok dalam diri manusia termasuk kesehatan yang merupakan bagian yang tidak boleh lepas dari studi tentang manusia.

Konsep sehat dan  sakit tidak ditentukan oleh biologi kita saja.[4] Hal ini berarti ada faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi sehat ataupun sakit. Dengan keterbatasannya model biomedis dan semakin banyaknya bukti bahwa tubuh dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan maka model biopsikologis pun berkembang.[5] Berkembangnya model biopsikologis ini menjadikan kita semakin sadar bahwa tolak ukur untuk menyembuhkan suatu penyakit bukan dari medis saja karena banyak faktor lain diluar biologis yang mempengaruhi kesehatan manusia.

Faktor lain diluar biologi salah satunya psikologis seperti yang diungkapkan pada paragraf diatas. Kedudukan psikologis sebagai salah satu faktor dalam kaitanya pada kajian ilmu kesehatan menjadikan psikologi salah satu disiplin keilmuan yang berpengaruh pada kesehatan manusia. Model biopsikososial mempertimbangkan dan memberi penekanan pada keadaan sehat beserta keadaan sakit, menekankan pada pemulihan beserta upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan. Jadi model biopsikososial berasumsi bahwa keadaan sehat dan keadaan sakit dipengaruhi oleh hubungan antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial (Engel, 1997, 1980; Schwartz, 1982 dalam Norman).[6] Hal ini memperkuat berkembangnya model biopsikososial.

Biopsikologis juga memandang faktor-faktor fisiologis sama pentingnya dengan faktor-faktor sosial, maka pandangan ini dapat berpijak pada proses-proses sistem tingkat mikro atau lebih rendah (seperti ketidakseimbangan kimiawi dan perubahan-perubahan seluler) maupun proses-proses sisitem tingkat makro atau tingkat lebih tinggi termasuk  faktor-faktor sosial (seperti dukungan sosial), dan faktor-faktor psikologis (seperti kecemasan)[7]. Dari ulasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata faktor-faktor sosial seperti dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan sama pentingya dengan faktor fisiologis.

Selain model biopsikologis yang mempengaruhi kesehatan[8] ada juga hal lain diluar medis yang mempengaruhinya yaitu spiritualitas[9]. Spiritualitas tidak memiliki definisi yang pasti meskipun para ilmuwan sosial telah menetapkan spiritualitas sebagai pencarian yang dikaitkan dengan "Tuhan” di mana "suci" secara luas didefinisikan sebagai sesuatu yang diatur terpisah dari umumnya dan pantas dihormati[10]. Penelitian yang dilakukan oleh Larson dkk (1992) pada seluruh publikasi dibawah topik “Religious Commitment and Mental Health” yang dimuat dalam American Journal of Psychiatry 1978-1989 menunjukan sebanyak 139 laporan kasus yang meneliti spiritualitas dan kesehatan mental melaporkan adanya hubungan positif dan bermakna antara keduanya[11]. Dari penjelasan tersebut kita semakin jelas bahwa spiritual memang sangat berkaitan dengan kesehatan manusia.

Spiritualitas, faktor-faktor sosial  (dukungan sosial) dan psikologis seperti yang diungkapkan diatas menentukan keadaan sehat dan keadaan sakit seseorang. Bentuk dari spiritualitas misalnya dengan pemberian doa pada bimroh. Kemudian bentuk dukungan sosial misalnya seperti kehadiran dan bantuan dari orang-orang, seperti orang tua, pasangan, teman, rekan kerja yang juga berdampak besar pada kesehatan[12]. Dukungan sosial sangat bermanfaat pada kesehatan. Beberapa manfaatnya diantaranya mengurangi kemungkinan jatuh sakit, memperepat kesembuhan, mengurangi resiko kematian akibat penyakit serius, memperbaiki penyesuaian terhadap penyakit arteri koroner, dan memperbaiki kontrol terhadap diabetes[13].

Banyaknya manfaat dukungan sosial pada kesehatan menjadikan kita semakin paham arti pentingya dukungan sosial pada orang yang sedang sakit. Bentuk dukungan sosial pada saudara atau teman kita yang sedang sakit misalnya dengan memberikan motivasi untuk sembuh. Ketika kita sedang diopname biasanya orang-orang terdekat kita akan melayani misalnya mengambilkan makan, minum, dan bahkan kadang sampai memandikan kita.

Dalam SOP keperawatan juga dijelaskan beberapa bentuk pelayanan terhadap pasien misalnya merapikan tempat tidur, dan memandikan pasien ditempat tidur. Dalam memandikan pasien ditempat tidur prosedur pertama petugas mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan menyapa dengan menyebutkan nama pasien[14]. Bentuk mengucapkan salam memperkenalkan diri dan menyapa dengan menyebutkan nama pasien tujuan utamanya adalah memberikan rasa nyaman  dan aman bagi pasien[15].

Tindakan perawat seperti yang dilakukan untuk memberikan rasa nyaman pada pasien diharapkan tujuan akhirnya adalah ikut membantu proses penyembuhan pasien. Hal ini bisa demikian karena seperti yang dijelaskan diatas jika kita runtut tindakan perawat merupakan bentuk dari dukungan sosial. Sedangkan dukungan sosial dalam kajian bidang biopsikososial merupakan faktor sosial yang mempengaruhi pada kesehatan dan manfaatnya salah satunya adalah mempercepat kesembuhan.

Tindakan perawat yang dilakukan untuk memberikan keamanan dan kenyaman semaksimal mungkin pada pasien juga diharapkan dapat membentuk sikap pasien. Fishbein dan Ajzen (1980) memandang sikap sebagai presdiposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan obyek tertentu[16]. Seperti yang dikemukakan diatas berarti sikap pasien merupakan hasil respon pasien terhadap tindakan perawat.

Dalam referensi lain sikap kemudian juga diartikan sebagai sikap terhadap obyek tertentu, atau sikap pandangan, sikap perasaan, dimana sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap itu[17]. Adanya sikap pandangan, sikap perasaanp pasien itulah yang kemudian diharapkan akan berpengaruh pada diri pasien atas tindakan perawat atau petugas lainya di rumah sakit.

  Pengaruh dalam hal ini merupakan suatu bentuk motivasi yang harapan akhirnya akan membantu dalam proses penyembuhan. Seperti yang dijelaskan Krech dan Crutchfield (1987) mengenai  sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual dan kognitif mengenai beberapa aspek individu[18]. Jadi terbentuknya sikap nantinya diharapkan akan  memotivasi pasien untuk sembuh.

Dengan adanya motivasi inilah diharapkan akan menjadikan pasien menjadi lebih cepat untuk sembuh. Motivasi dipandang suatu istilah umum yang menunjuk pada pengaturan tingkah laku individu dimana kebutuhan-kebutuhan atau dorongan-dorongan dari dalam dan insentif (semacam hadiah) dari lingkungan mendorong individu untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya atau berusaha menuju tercapainya tujuan yang diharapkan[19]. Tujuan yang diharapkan dalam hal ini adalah harapan untuk sembuh.

Dengan adanya dukungan sosial baik dari keluarga, maupun perawat diharapkan akan membentuk sikap pasien untuk memotivasi dirinya menjadi sembuh. Penelitian yang berkaitan dengan hal ini  sudah pernah dilakukan . Rizki Hardhiyani pada tahun 2003 telah melakukan penelitian berjudul Hubungan Komunikasi Therapeutic Perawat Dengan Motivasi Sembuh Pada Pasien Rawat Inap. Penelitian dilakukan di RSUD Kalisari Batang dengan subjek 127 pasien di ruang melati. Hasil peneitin ini menunjukkan bahwa komunikasi  therapeutic  dengan motivasi sembuh pasien rawat inap saling mempengaruhi dimana semakin tinggi komunikasi  therapeutic  perawat semakin tinggi pula motivasi sembuh pasien rawat inap begitu juga sebaliknya semakin rendah komunikasi  therapeutic  perawat maka semakin rendah pula motivasi sembuh pasien rawat inap[20].

Dari penjelasan mengenai penelitian yang sudah dilakukan oleh Rizki Hardhiyani, secara umum kita dapat menyimpulkan ternyata memang benar bahwa kesembuhan pasien tidak hanya dipengaruhi oleh faktor medis saja. Faktor lain diluar faktor medis seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal ternyata memang berpengaruh pada kesembuhan pasien. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan di RSUD Kalisari Batang.

Penjelasan diatas menjadi salah satu bukti yang jelas berbicara bahwa faktor dukungan sosial dan spiritual sangat berpengaruh pada kesembuhan pasien, namun kenapa bentuk dukungan sosial dan spirituali dari rumah sakit terhadap kesembuhan pasien belum tercover secara baik seperti bentuk kegiatan Bimroh di RSNU Jombang. Padahal bentuk kegiatan bimroh yang didalamnya terdapat dukungan sosial dan spiritualitas secara teori akan berpengaruh pada kesehatan. Apakah bentuk kegiatan seperti ini secara nyata tidak mempengaruhi sikap pasien yang kemudian memberikan motivasi untuk sembuh pada pasien sehingga beberapa rumah sakit tidak terlalu mementingkan hal tersebut.

 

[1] Norman D. Sunberg, dkk.Psikologi klinis edisi keempat. (Yogyakarta : Pustaka Pelaajar. 2007), hal 323

[2] Ian P. Alberi, dkk. Psikologi Kesehatan. (Yogyakarta : Palmall . 2011) hal 290

[3] Frank G. Goble.Madzhab ketiga. (Yogyakarta : Kanisius. 2013), hal 69-70

[4] Norman D. Sunberg, dkk.Psikologi klinis edisi keempat. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007), hal 325

[5] Ibid hal 335

[6] Ibid hal 329

[7] Norman D. Sunberg, dkk.Psikologi klinis edisi keempat. (Yogyakarta : Pustaka Pelaajar. 2007), hal 330

[8] ibid

[9] Taufik Pasiak. Tuhan Dalam Otak Manusia. (Bandung : PT Mizan Pustaka. 2012), hal 229

[10] https://id.wikipedia.org diakses pada 24 November 2015

[11] Taufik Pasiak. Tuhan Dalam Otak Manusia. (Bandung : PT Mizan Pustaka. 2012), hal 266

[12] Norman D. Sunberg, dkk.Psikologi klinis edisi keempat. (Yogyakarta : Pustaka Pelaajar. 2007), hal 329

[13] SOP  rawat inap RSNU Jombang

[14] ibid

[15] ibid

[16] Theofanis C. Despotakis, George E. Palaigeorgiou & Ioannis A. T. (2007). Students’ attitudes towards animated demonstrations as computer learning tools. Educational Technology & Society, 10 (1), 196-205

[17] W.A Gerungan. Psikologi Sosial. (Bandung : Rafika Aditama. 2004), hal : 160

[18] David O Sears, dkk. Psikologi Sosial : Jilid 1. (Jakarta : Erlangga. 1987), hal : 137

[19] Ibid 135

[20] Rizki Hardhiyani. (2013). Hubungan  Komunikasi Therapeutic Perawat Dengan Motivasi

Sembuh Pada Pasien Rawat Inap, Developmental and Clinical Psychology(12) (2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun