"Nak, kenapa menangis?" tanya ibu lembut.
Aku menggeleng, berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya berpikir, betapa berharganya setiap tarikan nafas yang kita miliki."
Ibu meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Kau benar, Nak. Setiap nafas adalah anugerah. Itulah mengapa ibu tak pernah menyerah. Setiap nafas yang ibu ambil adalah kesempatan untuk mencintaimu lebih lama."
Kata-kata ibu menohok hatiku. Aku sadar, perjuangan ibu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untukku, untuk cintanya yang tak terbatas.
Saat dokter memanggil nama ibu, kami berdiri bersama. Langkahnya pelan dan berat, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat. Aku tahu, apa pun yang terjadi, ibu akan terus berjuang.
Dalam perjalanan pulang, ibu tertidur di mobil. Suara nafasnya yang berat terdengar jelas. Aku meliriknya sekilas, bersyukur atas setiap detik yang masih bisa kulewati bersamanya.
Malam itu, sebelum tidur, aku menulis dalam diary-ku:
"Hari ini, aku belajar bahwa kekuatan terbesar tidak selalu datang dari tubuh yang sehat. Terkadang, ia muncul dari hati yang penuh cinta dan tekad yang tak tergoyahkan. Ibu mengajarkanku bahwa setiap nafas adalah kesempatan untuk mencintai, untuk berjuang, dan untuk hidup sepenuhnya. Terima kasih, Bu, atas pelajaran hidup yang tak ternilai ini."
Kutatap langit malam dari jendela kamarku, berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan pada ibu untuk terus bernafas, untuk terus berjuang. Karena bagiku, setiap nafasnya adalah hadiah terindah yang pernah kuterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H