Suara batuk yang berat memecah keheningan malam. Aku terbangun, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Dengan langkah tergesa, aku menghampiri kamar ibu.
"Bu, minum obatnya dulu ya," ujarku lembut sambil membantu ibu duduk di ranjangnya.
Ibu tersenyum lemah, wajahnya pucat pasi. Tangannya yang kurus gemetar saat menerima segelas air dan pil-pil yang kuberikan. Aku memandangi sosoknya yang rapuh, dada ibuku naik turun dengan berat, berjuang untuk setiap tarikan nafas.
Penyakit paru-paru yang dideritanya sudah mencapai tahap parah. Setiap hari adalah pertarungan baginya. Namun, di balik tubuh yang lemah itu, tersimpan kekuatan dan semangat yang luar biasa.
"Maaf ya, Nak. Ibu jadi merepotkanmu terus," ucapnya di sela-sela batuk.
Aku menggenggam tangannya erat. "Jangan bicara begitu, Bu. Ini sudah kewajibanku."
Pikiranku melayang ke hari-hari yang telah kami lalui. Bolak-balik rumah sakit sudah menjadi rutinitas. Aku masih ingat bagaimana ibu selalu tersenyum pada setiap perawat dan dokter, bahkan saat rasa sakit mendera tubuhnya.
"Bu, besok kita ke rumah sakit lagi ya? Dokter bilang ada terapi baru yang mungkin bisa membantu," aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Ibu mengangguk pelan. "Iya, Nak. Ibu akan coba apa pun. Ibu masih ingin melihatmu lulus kuliah, menikah, dan punya anak."
Air mataku nyaris tumpah mendengar ucapannya. Betapa kuatnya wanita ini, betapa besar cintanya.
Keesokan harinya, kami kembali ke rumah sakit. Saat menunggu giliran, aku melihat seorang anak kecil yang sedang bermain di taman rumah sakit. Ia tertawa riang, berlarian dengan bebas. Tanpa sadar, air mataku menetes.