Mohon tunggu...
Indra jaya
Indra jaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ig: @Indraaaj_

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotype Masyarakat terhadap Perempuan Seksi

1 November 2021   22:00 Diperbarui: 1 November 2021   22:00 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan adalah insan yang dimuliakan. Tapi disayangkan semua itu hanya hayalan atau omongan yang sekarang sudah tak berlaku bagi tatakrama seorang perempuan. Stereotip tentang konsep diri perempuan yang lebih rendah dari laki-laki tidak hanya ditemukan dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga didukung oleh hasil penelitian dan kajian ilmiah. Beberapa stereotipe yang telah mengakar dan dianggap sebagai kebenaran mutlak di masyarakat seperti perempuan tidak mandiri, penakut, bimbang, tidak cocok menjadi pemimpin, dan tidak rasional. Stereotip semacam ini menimbulkan beberapa dampak pada persepsi perempuan itu sendiri. Sebenarnya ini adalah bentuk konsep diri yang secara tidak sengaja dipelajari dan akhirnya terinternalisasi dalam diri perempuan. Dengan kata lain, stereotip telah membelenggu perasaan, pikiran dan cara pandang perempuan terhadap dirinya sendiri yang berdampak pada rendahnya harga diri.

Di era globalisasi seperti ini banyak kebudayaan yang masuk ke indonesia salah satunya adalah budaya berpakaian, seperti yang kita ketahui perempuan sangat memperhatikan penampilannya ada yang berpenampilan sopan dan ada juga yang berpenampilan seksi tergantung selera dang kenyamanannya masing-masing.

Untuk bisa tampil percaya diri, tak jarang perempuan memilih mengenakan pakaian seksi, terlebih saat menghadiri party. Seksi di sini juga tak melulu terbuka sana-sini. Sekadar menonjolkan lekukan tubuh dan pembawaan yang seksi pun termasuk dalam kategori seksi. Tapi, siapa sangka kalau perempuan yang menggunakan pakaian seksi kerap dinilai tidak berpendidikan, nakal dan tidak baik.

Ahir ahir ini, banyak kasus pemerkosaan yang menimpa wanita. Banyak yang menunding pemerkosaan itu disebabkan kerena wanita yang berpakaian seksi seperti rok diatas lutut, top tank, you can see dan sebagainya. Tentu saja para aktivis wanita dan persamaan gender meradang mendengar tudingan itu. Mereka tidak terima kalau wanita yang menjadi korban pemerkosaan malah disalahkan. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mereka balik menuding pihak laki-laki lah penyebab utama terjadinya pemerkosaan. Laki-laki tidak bisa menahan nafsunya, di otaknya cuma ada seks, seks dan seks dan pikirannya mesum semua.

Stereotypes lebih dominan bisa terjadi di lingkungan, karena banyak sebagian orang menilai atau men-jugde seseorang dari penampilan fisik seperti cara berpakaian .Apakah perempuan berpakaian mini mau atau berhak digoda atau bahkan dilecehkan? Mengapa masyarakat masih menyangsikan kemampuan perempuan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi tubuhnya?

Menjadi perempuan memang tak gampang. Tubuh perempuan dianggap sebagai sumber godaan dan dosa hingga menimbulkan masalah---bukan bagi pemilik tubuh, tapi bagi mereka yang melihat. Tokoh feminis Simone De Beauvoir mengatakan ketika seorang perempuan memasuki masa puber, tubuhnya pun menjadi sumber rasa takut dan malu.

Yang lebih menyedihkan, selain menghadapi perasaan-perasaan negatif akan tubuhnya, perempuan pun harus rela tubuhnya diatur oleh pihak lain. Tubuh perempuan diregulasi agar dunia menjadi lebih nyaman bagi kaum Adam. Mereka harus menutup tubuh rapat-rapat agar tak memicu kebrutalan pria.

Bila ada kasus perkosaan di media massa, informasi tak relevan seperti pakaian apa yang digunakan sang perempuan saat diperkosa, atau seberapa cantik wajah dan tubuh korban pun ikut diberitakan. Bila ternyata ada faktor tersebut, korban pun turut dipersalahkan. "Pantas saja diperkosa, roknya kependekan, sih." Para ibu terbiasa menasihati anak putrinya agar pandai menjaga diri, namun lalai mengajarkan anak laki-laki untuk mengontrol nafsu dan menghargai tubuh perempuan.

Tapi tidak adil juga kalau hanya pihak perempuan yang berusaha agar kasus pemerkosaan tidak terjadi. Laki laki sebagai aktor pemerkosaan juga harus bisa mengendalikan hawa nafsunya. Caranya kalau sudah mampu untuk menikah, segeralah menikah. Jikalau suatu saat melihat perempuan yang berpakaian seksi dan mengundang nafsu birahi bisa menyalurkannya pada istri di rumah. Atau bagi mereka yang belum mampu untuk menikah banyak banyak lah berpuasa. Kerena dengan berpuasa nafsu sahwat bisa dibendung dan dikendalikan.

Proses stereotypee merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima. Stereotypee berpengaruh terhadap porses informasi individu. Stereotypee menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun