"Ya di rumah atuh, masakan istri jauh lebih enak," jawab Barkah dengan santainya.Â
Kevin tak menjawab. Ia tak mau curhat di tepi jalan. Menikah baginya cuma hal yang merepotkan, toh ia bisa memuaskan hasrat pada perempuan mana pun yang dia pilih. Harta, tahta, dan koneksi mentereng ia punya. Bahkan hampir tiap malam, ia membakar uang di pub malam.Â
"Kang, kamu jualan malam sampai pagi buta! Apa tak takut dicegat hantu?" Kevin mengalihkan pembicaraan.Â
 "Orang hidup yang bahaya mah. Bisa malak, bisa mukul, bisa gigit. Terus bisa selingkuh lagi, nyakitin pokokna mah."Â
Kevin tertawa keras, dalam benaknya sepakat pada jawaban polos Barkah. Ketakutan orang-orang, lebih condong pada sesuatu yang abstrak. Padahal, banyak hal-hal konkret yang mesti diwaspadai.Â
Barkah menerima uang dari perempuan setengah baya yang terlihat cemberut. Namun ia tetap tersenyum. Ia pun melirik pada Kevin sambil berbisik, "Tapi saya punya cerita seram, lebih seram daripada istri saya kalau lagi dapet."Â
Dahulu sebelum saya jualan di sini, ada tukang bakso yang mangkal di tempat ini. Baksonya enak, orang-orang ramai yang beli. Dia jualan sore, dan pulang malam.Â
Suatu waktu, saat perjalanan pulang. Ia dibegal di daerah Glodok. Gerobaknya nyangkut di pinggiran anak Kali Ciliwung. Namun mayatnya tak pernah ditemukan.Â
Konon sejak saat itu, orang-orang di sini sering melihat tukang bakso lewat, tetapi saat dipanggil ia menghilang. Kadang ia terlihat di lantai dua gedung parkiran. Dan kadang ia terlihat di dalam mal yang sudah tutup.Â
Pernah suatu malam, saya mendengar bunyi tok...tok..tok, dan mencium aroma daun seledri menyengat. Tepat di sini, di tempat kamu duduk. Namun saat melihat kiri-kanan, tak ada orang.Â
Karena penasaran saya berjalan ke depan Harmoni, tetapi tak ada tukang bakso yang lewat, saya pun kembali ke sini. Dan saat hendak pikul gerobak, tiba-tiba kepala saya kecipratan air, saya kira hujan. Tapi saat dicium, kok bau kuah bakso.Â