Katanya, kehidupan penuh tanda tanya. Kita mesti rajin belajar untuk menjawab persoalan-persoalan. Dan mesti paham, kapan saat memilih, dan kapan saatnya mengarang bebas.Â
Beni menghabiskan waktunya di meja judi. Dari malam sampai dini hari. Padahal pukul tujuh pagi, ia harus bekerja. Pantang pulang sebelum puas. Menang sesekali, kalah berkali-kali. Ia tak ambil pusing.Â
Dan seperti biasa, malam itu Beni kalah. Duit hasil lembur terbuang percuma. Ia menenggak segelas tuak sekali habis. Membanting puntung rokok, memakai jaketnya, dan melangkah lesu.Â
"Ah, sial kali aku malam ini. Padahal sudah bagus kartuku tadi," Beni berbicara sendiri, sambil menggosok busi yang ditiup-tiupnya sedari tadi. Hingga mesin tua itu menyala, dan ia beranjak pergi.Â
Meluncur di antara deretan kontrakan petak, dan pagar tembok kusam pabrik karet. Menyusuri jalan becek, berbatu. Hingga terhenti di depan kamar kost mungilnya yang dicat merah muda. Ia memarkirkan motor di bawah pohon mangga. Mencabut busi, dan merantai motor itu agar tidak dicuri orang.
Motor tua dicicil setahun penuh. STNK hilang dan BPKB belum ditebus. Pajak pun mati. Namun Beni tak peduli. Toh, si tua itu hanya dipakai ke pabrik, kontrakan dan tempat judi. Kadang menjemput Ratih, gadis Jawa yang dia cintai setengah mati.Â
Beni berbaring senyum-senyum sendiri. Melupakan kekalahan judi dan mengalihkan ingatan pada kekasih yang sudah empat tahun bersamanya. "Oh, Ratih sayangku. Hubungan kita terhalang jadwal shift yang tak bertemu."
Mimpi Beni ingin punya kehidupan yang lebih baik. Mobil dan rumah mewah. Popularitas dan kekayaan. Kesenangan dunia dan keluarga sakinah mawadah warahmah. Namun, jalan yang ditempuh jauh dari berkah.Â
"Nah kan, tertidur kau kan! Berjudi? Mabuk di Lapo kau kan?"Â
"Kurang tidur aku semalam, Kak," Beni mengusap matanya dan bangkit dari sela-sela mesin pabrik yang disekat potongan papan. Â