Air mata Maya mengalir deras. Mati-matian ia menahan sakit di dada. Menyamarkan kesedihan pada irisan-irisan bawang. Dan dengan nafas tersengal-sengal, ia sekuat tenaga menenangkan diri. "Ada kehidupan yang harus dibenahi. Dan ada pekerjaan yang harus dituntaskan."
"Mbok Jum, ini pesanannya. Nah, dan ini buat jajan cucu Mbok di rumah," Roni menyerahkan sebungkus nasi goreng dan beberapa lembar uang kepada Mbok Jum.Â
"Matur nuwun sanget nggih," Mbok Jum menerima pesanan dan uang, seraya merapatkan kedua tangan rentanya.Â
Namun saat ingin mengucapkan terima kasih kepada Maya, dadanya seakan tersentak. Ingatan tuanya perlahan-lahan meraba wajah cantik yang tengah terpaku di ujung sana.Â
Entah kenapa, Mbok Jum terlihat gelisah. Ia terburu-buru meraih karung, lalu berjalan tertatih-tatih seolah ingin mempercepat langkah. Dan rasa cemas tergambar jelas di raut wajahnya.Â
**
Bocah lelaki berbaju lusuh berjalan lemas memasuki pemukiman kumuh. Melangkah lunglai pada gang sempit, pengap dan gelap. Deretan pintu kayu lapuk dan seng berkarat, menyambut di ujung jalan.Â
Ia menyelipkan kecrekan yang terbuat dari tutup botol di sela-sela jendela rumah. Mendorong pintu pelan-pelan. Dan mengendap-endap masuk, lalu berbaring pada dipan bambu yang beralas spanduk partai politik.Â
"Ke mana saja kau, Nak?" Mbok Jum yang tengah merapikan botol plastik ke dalam karung yang lebih besar, menyadari kehadiran cucunya di dalam rumah.Â
"Bermain, Mbok," jawab sang bocah pelan. Matanya belum terpejam, ia masih menatap ke atas. Menerka bentuk jejak-jejak air di langit-langit kamar. Dan mengalihkan rasa lapar pada khayalan.Â
"Makanlah, mbok bawa nasi goreng untukmu!" teriak Mbok Jum, sembari meletakkan bungkusan di atas tikar.Â