"Baik, Mbok. Tunggu sebentar," Roni mengambil uang dari tangan nenek tersebut, dan memberikan kode kepada Maya yang tengah duduk di dekat dapur. Namun Maya masih terpaku.Â
Hingga Roni kembali menghampiri Maya, memintanya memasak nasi goreng untuk pelanggan. Dan Maya bergegas melangkah ke dapur. "Satu bungkus nasi goreng spesial segera datang, Bang Roni," ucapnya riang.Â
Roni sebenarnya masih khawatir pada kondisi Maya. Perempuan itu terkadang larut dalam lamunan. Ia paham trauma mendalam takkan sembuh seketika. Dan bukan cuma soal waktu, tetapi bagaimana cara orang-orang di sekitar memperlakukannya.Â
Namun saat melihatnya memasak, Roni merasa Maya begitu menikmati. Paras wajahnya tenang, dan satu-satunya kecemasan hanyalah soal rasa yang harus disesuaikan. Kadang ia terlalu banyak menambahkan garam.Â
**
Maya tengah memotong bawang putih, dan tanpa sengaja ujung pisau menggores telunjuk kiri. Ia terkesiap. Dan refleks menempelkan irisan bawang tersebut pada luka. Perih. Namun darah tak lagi menetes.Â
Hingga saat Maya membersihkan tetesan darah, iapun terjerat pada lamunan. Noda, luka, dan kengerian. Peristiwa kelam dari masa lalu menyeruak di dalam benak. Raganya bekerja. Namun jiwa membeku.Â
Di malam jahanam itu, Maya tengah berjibaku menenangkan buah hati dalam dekapan. Tangisan bayi merah pecah bersama pekik halilintar dan deru hujan.
Hingga suaminya pulang dalam keadaan mabuk, membanting daun pintu dan berteriak-teriak. Sorot mata merah darah, lelaki itu menatap Maya penuh kebencian.Â
"Jadah itu bukan anakku!" ribuan umpatan dan tamparan meluncur setelahnya. Maya hanya dapat meringis dan menangis. Mendekap erat sang bayi, agar tak terlepas dari pelukan.Â
Hingga kedua tangan kekar mencoba mencengkeram si buah hati. Maya panik. Tanpa pikir panjang, ia meraih gunting di bawah bantal. Dan mengayunkannya tepat di leher si pemabuk. Lelaki itupun ambruk.Â