Sudah lama aku memendam cemburu pada Nancy. Mayang, istriku, memanjakannya lebih dari dirinya sendiri. Kulihat saban hari ia memandikan, memberi makan, dan menyisir bulu-bulu halus kucing Persia itu.Â
Bila kami pergi berlibur, Mayang berkeras membawa Nancy ikut serta. Biaya ekstra harus dikeluarkan, demi membawa hewan peliharaan. Membuatku berulangkali menggerutu, "Sayang, tak bisakah Nancy kita titipkan ke tetangga?"
Kadang di hotel atau tempat wisata, aku dibuat repot Nancy. Mengurus kotoran, mencari-cari saat dia hilang, dan yang paling menyebalkan, membayar ganti rugi akibat gigitan atau cakarannya pada perabotan.Â
Pernah suatu waktu aku menyembunyikan Nancy, dan berniat menjualnya. Namun kulihat, raut wajah istriku begitu khawatir, sampai-sampai ia minta diantar ke kantor polisi. Dan terpaksa, niat itu kubatalkan.Â
Suatu hari, sebelum berangkat kerja, aku memasak untuk sarapan. Hanya ada telur, dan ikan asin, tersisa di dapur. Mbok Darmi mendadak pulang kampung. Dan Istriku, selesai menyiram tanaman, sibuk mengurus kucing. Ia menimang-nimang Nancy seperti bayi.
Sembari membelai kucing, istriku berkata, "Sayang, jangan lupa belanja makanan kucing. Ehmm...Nancy sepertinya lebih suka tuna."Â
"Kucing manja!" umpatku dalam hati. Istriku lebih sayang Nancy dari pada aku. Betapa Nancy dimanjakan dengan ikan tuna, dan aku suaminya, dibiarkan sarapan ikan asin.
Kutatap Nancy yang masih menjilati tubuhnya di pangkuan Mayang. Kucing itu malah berbalik menatapku sinis. Dan aku pun berangkat kerja dengan perasaan kesal. "Awas kau, Nancy!"
Malam itu seusai kerja, aku tak langsung pulang ke rumah, tetapi iseng mencari-cari kucing hitam yang sering berkeliaran di sekitar komplek. Dan tak butuh waktu lama, kutemukan ia tengah mengais tumpukan sampah di bawah tiang listrik.Â
"Nah, jantan!" kuabaikan desis dan cakaran kucing hitam di genggaman. Ia pasti tak nyaman, saat kupastikan jenis kelaminnya.Â