Sudah tiga hari Martono mengurung diri di dalam kamar. Bila kemarin malam masih terdengar suara ocehannya, kini suasana benar-benar senyap. Dari balik pintu kamar, Maimunah menatap resah. Mengelus dada, memendam gelisah.Â
"Sebelum aku teriak minta tolong, jangan pernah kamu buka kamar ini!" Maimunah mengingat kembali, pesan suaminya sebelum masuk kamar.Â
Bukan pertama kali, Maimunah dibuat khawatir dengan tingkah polah Martono. Namun kali ini, kelakuan suaminya sudah keterlaluan. Bila bukan karena dinding rumah yang reyot, mungkin sudah dari kemarin pintu itu didobrak.Â
Dan bila bukan karena cinta, mungkin sudah ditinggalkannya sejak lama. Terlebih, urusan mengusahakan nafkah dirasa berat sebelah. Maimunah memang lebih pandai mencari uang dari suaminya.Â
Meski pun usaha Martono tidak pernah meyakinkan, tetapi Maimunah selalu menghormati suaminya. Dan terkadang, terpaksa menuruti permintaan nyeleneh.Â
Pernah suatu ketika, Martono menghilang berhari-hari. Dan saat pulang, tubuhnya penuh lumpur dan bau. Bukannya menjelaskan apa yang terjadi, ia malah meminta istrinya untuk menanam cabe dan tomat. Mungkin, ide itu didapat dari media sosial.Â
Setelah cabe dan tomat dapat dipanen seminggu sekali, ia menghilang lagi dari rumah. Kali kedua tidak lama, menjelang malam ia kembali dengan membawa sekarung penuh ikan lele.Â
Mereka pun mulai merintis usaha pecel lele. Hingga kondisi ekonomi keluarga mulai membaik. Dan Maimunah bisa sumringah. Biaya mondok anaknya di pesantren, tak lagi ditunggak.Â
Namun kesenangan itu hanya bertahan dua bulan. Martono dijemput polisi dan terpaksa mendekam di dalam tahanan selama delapan hari.Â
Usut punya usut, sang pemilik kolam lele mengadukannya ke polisi. Martono dianggap mencuri, karena menampung lele-lele yang lepas dari kolam saat banjir melanda. Â